Namun, robohnya rumah adat jadi persoalan tersendiri saat semangat mendapat pengakuan wilayah adat sedang tinggi. Rumah itu dianggap sebagai salah satu simbol eksistensi masyarakat adat yang mewarisi kebudayaan para leluhurnya.
Eksistensi kultural harus terjaga
Itu menjadi penting karena sejatinya eksistensi masyarakat adat tidak hanya ditunjukkan melalui perjuangan prosedural, struktural untuk memperoleh pengakuan secara de jure dari negara. Masyarakat adat itu sendiri harus menunjukkan eksistensi kulturalnya, dengan tetap mempraktikan nilai, dan melestarikan warisan leluhurnya.
"Inilah salah satu problem kita karena belum mandiri secara ekonomi. Gimana mau merenovasi rumah, sementara keluarga pemilik rumah sekarang di Pangkalan Bun, ikut anaknya, hidup susah," kata Buhing.
"Pemerintah, ah angin surga, kalau mau lahan atau tanah, cepat. Tapi minta renovasi, usul sudah sepuluh tahun, tapi sampai sekarang tiap datang ke kampung pendataan situs budaya terus," lanjutnya.
Namun, dari kalangan komunitas masyarakat adat juga berpendapat keluhan agar masyarakat adat mendapat perhatian pemerintah atau pihak luar tak selalu berarti.
Salah satu pegiat masyarakat adat di Kalimantan Tengah, Alfianus Rinting berpendapat, eksistensi masyarakat adat harus ditunjukkan dengan memperlihatkan kemampuan mereka sendiri dalam mengatasi problem sehari-harinya. Mereka harus bekerja sama, swadaya, swakelola, dan kreatif untuk mengatasi masalahnya.
"Dari pada nunggu donatur atau pemerintah yang enggak jelas kapan datang. Kalau kita percaya ada Tuhan dan leluhur, mereka pasti bantu dengan jalan yang sering di luar logika," katanya, Rabu (5/4/2017)
Ia menilai, kalau mereka justru cuek dengan rumah adatnya, ada masalah di kampung itu. "Bukan salah komunitas, tapi ada penyebab lain. Dan ini yang harus dibongkar."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H