Mohon tunggu...
Budi Baskoro
Budi Baskoro Mohon Tunggu... lainnya -

lahir di pangkalan bun, kalimantan tengah. tertarik pada banyak hal tentang pengetahuan, politik, kebudayaan, sastra dan olahraga. blog ini, saya dedikasikan, terutama, buat tulisan-tulisan tentang pulau dan kampung halaman saya, tanah kalimantan dan bumi kotawaringin.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rumah Betang yang Usianya Lebih Tua dari RI itu Kini Roboh

11 Mei 2017   11:59 Diperbarui: 11 Mei 2017   14:20 2155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, robohnya rumah adat jadi persoalan tersendiri saat semangat mendapat pengakuan wilayah adat sedang tinggi. Rumah itu dianggap sebagai salah satu simbol eksistensi masyarakat adat yang mewarisi kebudayaan para leluhurnya.

Eksistensi kultural harus terjaga

Itu menjadi penting karena sejatinya eksistensi masyarakat adat tidak hanya ditunjukkan melalui perjuangan prosedural, struktural untuk memperoleh pengakuan secara de jure dari negara. Masyarakat adat itu sendiri harus menunjukkan eksistensi kulturalnya, dengan tetap mempraktikan nilai, dan melestarikan warisan leluhurnya.

"Inilah salah satu problem kita karena belum mandiri secara ekonomi. Gimana mau merenovasi rumah, sementara keluarga pemilik rumah sekarang di Pangkalan Bun, ikut anaknya, hidup susah," kata Buhing.

"Pemerintah, ah angin surga, kalau mau lahan atau tanah, cepat. Tapi minta renovasi, usul sudah sepuluh tahun, tapi sampai sekarang tiap datang ke kampung pendataan situs budaya terus," lanjutnya.

Namun, dari kalangan komunitas masyarakat adat juga berpendapat keluhan agar masyarakat adat mendapat perhatian pemerintah atau pihak luar tak selalu berarti.

Salah satu pegiat masyarakat adat di Kalimantan Tengah, Alfianus Rinting berpendapat, eksistensi masyarakat adat harus ditunjukkan dengan memperlihatkan kemampuan mereka sendiri dalam mengatasi problem sehari-harinya. Mereka harus bekerja sama, swadaya, swakelola, dan kreatif untuk mengatasi masalahnya.

"Dari pada nunggu donatur atau pemerintah yang enggak jelas kapan datang. Kalau kita percaya ada Tuhan dan leluhur, mereka pasti bantu dengan jalan yang sering di luar logika," katanya, Rabu (5/4/2017)

Ia menilai, kalau mereka justru cuek dengan rumah adatnya, ada masalah di kampung itu. "Bukan salah komunitas, tapi ada penyebab lain. Dan ini yang harus dibongkar."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun