Mohon tunggu...
Budi Baskoro
Budi Baskoro Mohon Tunggu... lainnya -

lahir di pangkalan bun, kalimantan tengah. tertarik pada banyak hal tentang pengetahuan, politik, kebudayaan, sastra dan olahraga. blog ini, saya dedikasikan, terutama, buat tulisan-tulisan tentang pulau dan kampung halaman saya, tanah kalimantan dan bumi kotawaringin.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rumah Betang yang Usianya Lebih Tua dari RI itu Kini Roboh

11 Mei 2017   11:59 Diperbarui: 11 Mei 2017   14:20 2155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu rumah Betang di Kinipan, yang masih berpenghuni.

Rumah betang (atau rumah panjang), rumah tradisional masyarakat Dayak berangsur-angsur punah. Ironisnya itu terjadi seiring kebangkitan gerakan masyarakat adat.

Kisah seperti itu datang dari Kampung Kinipan, sebuah kampung Dayak di Kabupaten Lamandau, atau berjarak sekitar 4,5 jam dengan angkutan darat dari Pangkalan Bun, kota paling ramai di wilayah barat Provinsi Kalimantan Tengah.

"Rumah adat (betang) yang tidak nampak pintu dalam foto ini/tertutup pohon. Sekarang sudah roboh. Di Kinipan tinggal tiga buah rumah seperti ini," tulis Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Kinipan dalam sebuah grup diskusi aktivis masyarakat adat di Kalimantan Tengah, beberapa waktu lalu.

"Hampir tiga bulan yang lalu atap dan dindingnya ambruk. Kalau tiang sama lantai masih utuh," imbuh Buhing.

Kinipan, desa yang berpenduduk kurang dari seribu jiwa itu  memang tergolong kampung tua. Karena itu, meski akses jalan darat ke sana belum beraspal, ia kini menjadi ibu kota Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau.

Di sana masih tersisa delapan rumah betang, yang usianya lebih tua dari Republik Indonesia. Empat di antaranya sudah tak berpenghuni. Dan satu roboh, seperti yang disampaikan Buhing itu.

Seperti yang saya saksikan langsung pada pertengahan 2016, rumah-rumah betang yang tak berpenghuni itu tak jauh dari tepi sungai. Sungai Batang Kawa, hulu dari Sungai Lamandau yang panjangnya 300 kilometer, terhitung dari muara di tepi Laut Jawa.

Buhing dan rekan-rekannya, pertengahan Maret lalu, ikut dalam kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Medan. Mereka datang tidak sekadar sebagai penggembira. Sejumlah berkas berisi dokumen peta wilayah adat, mereka berikan sebagai syarat registrasi wilayah adat pada Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) di arena kongres itu.

Pada 2016, Buhing dan rekan-rekannya mendeklarasikan Kinipan sebagai wilayah adat. Itu terjadi setelah setahun sebelumnya, mereka memetakan wilayah adatnya, yang hasilnya dibawa ke BRWA saat kongres AMAN.

Gerakan struktural sistematik mereka untuk mewujudkan kampungnya sebagai wilayah adat pun di respons BRWA, dengan menggelar verifikasi kelayakan mereka untuk jadi masyarakat adat, pada akhir April lalu.

"Jelas bahwa Kinipan adalah wilayah adat. Bukti-bukti lapangan, seperti situs, relasi masyarakat dengan wilayahnya, jelas mereka masyarakat adat. Pendapat saya sebagai verifikator menyimpulkan begitu," kata Widodo Kasmita, Ketua BRWA.

Namun, robohnya rumah adat jadi persoalan tersendiri saat semangat mendapat pengakuan wilayah adat sedang tinggi. Rumah itu dianggap sebagai salah satu simbol eksistensi masyarakat adat yang mewarisi kebudayaan para leluhurnya.

Eksistensi kultural harus terjaga

Itu menjadi penting karena sejatinya eksistensi masyarakat adat tidak hanya ditunjukkan melalui perjuangan prosedural, struktural untuk memperoleh pengakuan secara de jure dari negara. Masyarakat adat itu sendiri harus menunjukkan eksistensi kulturalnya, dengan tetap mempraktikan nilai, dan melestarikan warisan leluhurnya.

"Inilah salah satu problem kita karena belum mandiri secara ekonomi. Gimana mau merenovasi rumah, sementara keluarga pemilik rumah sekarang di Pangkalan Bun, ikut anaknya, hidup susah," kata Buhing.

"Pemerintah, ah angin surga, kalau mau lahan atau tanah, cepat. Tapi minta renovasi, usul sudah sepuluh tahun, tapi sampai sekarang tiap datang ke kampung pendataan situs budaya terus," lanjutnya.

Namun, dari kalangan komunitas masyarakat adat juga berpendapat keluhan agar masyarakat adat mendapat perhatian pemerintah atau pihak luar tak selalu berarti.

Salah satu pegiat masyarakat adat di Kalimantan Tengah, Alfianus Rinting berpendapat, eksistensi masyarakat adat harus ditunjukkan dengan memperlihatkan kemampuan mereka sendiri dalam mengatasi problem sehari-harinya. Mereka harus bekerja sama, swadaya, swakelola, dan kreatif untuk mengatasi masalahnya.

"Dari pada nunggu donatur atau pemerintah yang enggak jelas kapan datang. Kalau kita percaya ada Tuhan dan leluhur, mereka pasti bantu dengan jalan yang sering di luar logika," katanya, Rabu (5/4/2017)

Ia menilai, kalau mereka justru cuek dengan rumah adatnya, ada masalah di kampung itu. "Bukan salah komunitas, tapi ada penyebab lain. Dan ini yang harus dibongkar."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun