We cannot stop natural disasters but we can arm ourselves with knowledge: so many lives wouldn’t have to be lost if there was enough disaster preparedness - Petra Nemcova
Begitulah pentingnya tindakan preventif mengatasi sebuah bencana. Bila tak siaga, maka siap-siap nyawa yang akan jadi korbannya. Ibarat suatu perang, musuh paling mengkhawatirkan setelah musibah kelaparan adalah bencana wabah dan penyakit menular.
Jika kelaparan membunuh ribuan nyawa manusia dalam waktu bertahun-tahun, maka wabah dapat membunuh ratusan ribu nyawa hanya dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun.
Menilik kasus bencana Covid-19 (Coronavirus) yang sedang terjadi saat ini misalnya, kita tau bahwa Coronavirus termasuk jenis virus yang tergolong baru dan ditetapkan oleh World Health Organization(WHO) sebagai kategori Pandemi.
Bahkan sampai waktu artikel ini ditulis, Coronavirus berhasil menjangkiti 307.613 orang, dan membunuh sekitar 13 ribu nyawa hanya dalam kurun waktu kurang dari 60 hari. China, Italia, Korea, dan negara-negara lain di dunia beberapa bulan lalu tak pernah berpikir akan memerangi pandemi yang mematikan, baru menyadari ketika banyak orang terjangkit, dan akhirnya kalang kabut ketika ribuan orang dinyatakan — meninggal.
Kecepatan penyebaran virus ini membuktikan bahwa seabad terakhir, populasi manusia rawan terkena pandemi karena variatifnya populasi yang tumbuh dan terdapat kemudahan dalam hal transportasi. Bahkan, dengan kemudahan transportasi seperti sekarang, manusia dapat mengelilingi dunia hanya dalam waktu satu hari.
Maka dari itu, tak ayal bila sebuah kota metropolitan seperti Beijing, Roma, atau Jakarta, lebih tinggi presentase penyebaran penyakit menularnya karena mobilitas manusianya yang tinggi.
Selain faktor mobilitas yang tinggi, berdasarkan data yang dikutip dari EcoHealth Alliance, organisasi non-profit yang melindungi kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan dari penyakit menular, mengatakan bahwa interaksi dengan hewan ternyata sangat berpengaruh, bahkan sekitar 75% penyakit yang muncul pada manusia berasal dari hewan, dan penyakit tersebut didapat dari aktivitas manusia yang membuat orang bersentuhan dengan satwa liar, seperti pembangunan jalan raya, perburuan, atau perluasan lahan pertanian.
Dalam menghadapi bencana khususnya yang diakibatkan oleh wabah, rekam jejak bangsa-bangsa di dunia memang masih terbilang buruk. Padahal, pandemi bukanlah suatu hal yang baru, dan sejarah pernah mencatat bahwa dunia bukan hanya sekali diguncang oleh Pandemi.
Mari kita tarik garis pada 1800 tahun silam, tepatnya pada tahun 1330 Masehi, dimana negara-negara di Benua Asia Timur dan Tengah saat itu diguncang pandemi yaitu Yersinia pestis atau yang lebih kita kenal dengan sebutan penyakit PES, yang telah menginfeksi manusia secara masif.
Tercatat, hanya dengan waktu kurang dari dua tahun, wabah tersebut menyebar luas ke seluruh Benua Asia, Eropa, dan Afrika Utara. Tercatat kurang lebih antara 75 juta sampai 200 juta orang mati karena bakteri tersebut.
Kita ambil contoh di negara Inggris, 4 dari 10 orang dinyatakan mati, dan populasi Inggris pada saat itu menyusut dari 3,7 Juta jiwa menjadi 2,2 Juta jiwa.
Bahkan, pada tahun 2007 penyakit ini pernah menyandang predikat sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia dengan membawa catatan total 82 kasus dengan tingkat kematian sekitar 80%.
Berkaca lagi dengan kasus serupa, terkait pandemi smallpox atau yang lebih familiar dengan sebutan “cacar” yang mulai muncul pertama kali pada tahun 1520 Masehi.
Suatu hari kapal Spanyol akan ke Meksiko membawa 900 tentara Spanyol dan budak-budak dari Afrika. Salah satu budak di sana bernama Fransisco de Egula, ternyata terjangkit virus smallpox hingga saat mendarat di Meksiko, ia ditemukan dalam keadaan tubuh yang kulitnya penuh dengan ruam-ruam mengerikan. Ia diinapkan di rumah keluarga Amerika, di Kota Cempoallan.
Hari pertama ia menulari anggota keluarga, hari-hari selanjutnya ia menjangkiti tetangga-tetangga sekitarnya, dan akhirnya hanya dalam waktu 10 hari, Cempoallan menjadi kota yang penuh dengan smallpox. Akhirnya, banyak yang mengungsi keluar dari kota itu, namun nahas, kota selanjutnya malah jadi korban akibat wabah menular ini.
Hingga pada tahun 1979, WHO menyatakan bahwa pandemi yang membunuh 2 juta orang pada tahun 1967 ini berhasil dilenyapkan. Inilah pencapaian riset kedokteran dan ilmu Kesehatan di abad ke-20 yang berhasil menciptakan antibiotik, vaksin, dan membangun infrastruktur kesehatan yang lebih baik.
Berkat kemajuan teknologi terkini, Ilmu kedokteran dan infrastruktur kesehatan memang telah mengalami transformasi yang luar biasa. Menemukan obat antivirus hari ini lebih mudah daripada sebelumnya. Dibandingkan beberapa dekade yang lalu, para peneliti harus menguji obat-obatan potensial secara manual. Sedangkan saat ini, prosesnya mayoritas telah diotomatisasi dengan robot, sehingga 100 obat yang sebelumnya bisa memakan waktu uji coba hingga enam bulan, sekarang hanya memerlukan beberapa hari untuk melakukan ujicoba.
Selain itu, para peneliti sekarang dapat melihat model komponen virus tiga dimensi pada komputer, oleh karenanya mereka dapat dengan cepat merancang dan menguji senyawa melalui program komputer yang mensimulasikan pengikatan obat dengan komponen virus.
Pun sudah saatnya ilmu kedokteran mampu menekan banyaknya angka korban jiwa yang diakibatkan virus, mungkin bisa dimulai dengan langkah awal yaitu mengubah pola riset, dari riset represif menuju riset preventif.
Bila dahulu masih menunggu muncul penyakit dulu baru bertindak, saat ini dapat sebaliknya. Bisa saja muncul sebuah vaksin atau obat dari suatu penyakit yang belum diperkirakan akan muncul, dan para pakar juga dapat memprediksi sebuah penyakit tanpa tahu terlebih dahulu bagaimana proses patogen merusak sebuah sel, misalnya.
Kita tidak pernah tahu bagaimana dunia berkembang di masa depan, seperti halnya orang pada abad 18 yang tidak terbayangkan pada abad 20 akan ada koneksi internet dan teknologi digital semaju sekarang.
Namun, meski telah merambah ke era digital, terbukti saat ini masih banyak negara terlihat "kelabakan" dan seakan belum siap menghadapi virus ini. Ujungnya, pandemi ini menyebabkan sejumlah masalah yang serius, diantaranya adalah terjadinya masalah ekonomi di berbagai negara, termasuk yang sedang terjadi di Indonesia. Masalah ini timbul 20 karena salah satu economic cost dari coronavirus ke Indonesia adalah gangguan dalam kemampuannya untuk mengekspor barang ke luar negeri selama beberapa bulan.
Bahkan, beberapa negara-negara langganan ekspor Indonesia juga banyak yang telah menerapkan kebijakan proteksionisme perdagangan yang tentu saja akan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi lokal.
Hal ini diperumit dengan banyaknya investor asing yang melakukan “panic selling” dengan menarik modalnya dari Pasar Modal Indonesia, menyebabkan angka IHSG turun dan beberapa perusahaan yang berfundamental rendah, terancam pailit.
Apalagi sejak diberlakukannya social distancing, Indonesia tak lagi dapat menggunakan kapasitas penuhnya untuk berproduksi, ia hanya stagnan dengan melihat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi global yang diprediksi hanya meningkat kurang dari 30% disebabkan pandemi.
Sisi positifnya, Pandemi Coronavirus membuka mata kita bahwa di dunia ini masih terdapat banyak kesenjangan yang terlihat. Banyak negara masih kekurangan tenaga medis, teknologi laboratorium, atau rumah sakit yang mumpuni untuk mendeteksi dan menangani wabah secara cepat.
Terdapat juga kesenjangan dalam privilege, yaitu keterbatasan untuk melakukan tes diagnostik dan protokol Coronavirus yang akhirnya menyebabkan tak semua orang bisa melakukan tes terhadap Coronavirus, memungkinkan banyak orang yang terinfeksi di kemudian hari tak dapat terdeteksi.
Sekarang saatnya WHO dan organisasi kesehatan masyarakat lainnya perlu menyediakan wadah bagi para pakar dari negara-negara di seluruh dunia untuk serius membahas berbagai dampak yang ditimbulkan dari pandemi global Coronavirus, serta meramu strategi yang berfokus pada berbagai tindakan pencegahan, yaitu menghentikan pandemi sebelum mulai, bukan mencari solusi ketika sudah mewabah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H