Tercatat, hanya dengan waktu kurang dari dua tahun, wabah tersebut menyebar luas ke seluruh Benua Asia, Eropa, dan Afrika Utara. Tercatat kurang lebih antara 75 juta sampai 200 juta orang mati karena bakteri tersebut.
Kita ambil contoh di negara Inggris, 4 dari 10 orang dinyatakan mati, dan populasi Inggris pada saat itu menyusut dari 3,7 Juta jiwa menjadi 2,2 Juta jiwa.
Bahkan, pada tahun 2007 penyakit ini pernah menyandang predikat sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia dengan membawa catatan total 82 kasus dengan tingkat kematian sekitar 80%.
Berkaca lagi dengan kasus serupa, terkait pandemi smallpox atau yang lebih familiar dengan sebutan “cacar” yang mulai muncul pertama kali pada tahun 1520 Masehi.
Suatu hari kapal Spanyol akan ke Meksiko membawa 900 tentara Spanyol dan budak-budak dari Afrika. Salah satu budak di sana bernama Fransisco de Egula, ternyata terjangkit virus smallpox hingga saat mendarat di Meksiko, ia ditemukan dalam keadaan tubuh yang kulitnya penuh dengan ruam-ruam mengerikan. Ia diinapkan di rumah keluarga Amerika, di Kota Cempoallan.
Hari pertama ia menulari anggota keluarga, hari-hari selanjutnya ia menjangkiti tetangga-tetangga sekitarnya, dan akhirnya hanya dalam waktu 10 hari, Cempoallan menjadi kota yang penuh dengan smallpox. Akhirnya, banyak yang mengungsi keluar dari kota itu, namun nahas, kota selanjutnya malah jadi korban akibat wabah menular ini.
Hingga pada tahun 1979, WHO menyatakan bahwa pandemi yang membunuh 2 juta orang pada tahun 1967 ini berhasil dilenyapkan. Inilah pencapaian riset kedokteran dan ilmu Kesehatan di abad ke-20 yang berhasil menciptakan antibiotik, vaksin, dan membangun infrastruktur kesehatan yang lebih baik.
Berkat kemajuan teknologi terkini, Ilmu kedokteran dan infrastruktur kesehatan memang telah mengalami transformasi yang luar biasa. Menemukan obat antivirus hari ini lebih mudah daripada sebelumnya. Dibandingkan beberapa dekade yang lalu, para peneliti harus menguji obat-obatan potensial secara manual. Sedangkan saat ini, prosesnya mayoritas telah diotomatisasi dengan robot, sehingga 100 obat yang sebelumnya bisa memakan waktu uji coba hingga enam bulan, sekarang hanya memerlukan beberapa hari untuk melakukan ujicoba.
Selain itu, para peneliti sekarang dapat melihat model komponen virus tiga dimensi pada komputer, oleh karenanya mereka dapat dengan cepat merancang dan menguji senyawa melalui program komputer yang mensimulasikan pengikatan obat dengan komponen virus.
Pun sudah saatnya ilmu kedokteran mampu menekan banyaknya angka korban jiwa yang diakibatkan virus, mungkin bisa dimulai dengan langkah awal yaitu mengubah pola riset, dari riset represif menuju riset preventif.
Bila dahulu masih menunggu muncul penyakit dulu baru bertindak, saat ini dapat sebaliknya. Bisa saja muncul sebuah vaksin atau obat dari suatu penyakit yang belum diperkirakan akan muncul, dan para pakar juga dapat memprediksi sebuah penyakit tanpa tahu terlebih dahulu bagaimana proses patogen merusak sebuah sel, misalnya.