Mohon tunggu...
Budianto Supar
Budianto Supar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja tambang yang ingin menampilkan dunia tambang dari perspektif yang positif. Berusaha berpikir objektif dalam pengaruh pemikiran yang subjektif.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tambang di Simpang Jalan

17 Februari 2016   06:54 Diperbarui: 17 Februari 2016   14:22 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Tambang dan Reklamasi (Lalu Budi Karyadi/PTNNT)"][/caption]

Gonjang-ganjing dunia tambang akhir-akhir ini terasa memberikan dampak psikologis cukup besar bagi saya dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dengan isu klasik tambang yang masih negatif, ditambah harga komoditas tambang terus menurun beberapa tahun belakang sehingga memicu terjadinya PHK massal, muncul lagi beberapa isu yang mengusik jiwa Merah Putih saya.

Beberapa waktu lalu santer beredar berita tentang rencana akuisisi 76% saham PT. Newmont Nusa Tenggara, salah satu perusahaan tambang ‘asing’ yang sudah menjalankan aktifitasnya di Indonesia sejak 6 November 1986 ketika Kontrak Karya antara pemerintah dan perusahaan tersebut ditandatangani. Rentang waktu yang cukup lama jika dihitung dari kegiatan ekplorasi awal sampai eksploitasi yang saat ini masih berlangsung. Kontrak Karya yang saat ini akan berlaku sampai tahun 2030 meskipun dalam perjalanannya ada beberapa kesepakatan yang diperbaharui sesuai dengan peraturan yang berlaku saat itu, juga pertimbangan untuk meningkatkan porsi manfaat keberadaan perusahaan tambang bagi kemakmuran rakyat. Sebuah langkah yang memang harus dilaksanakan oleh pemerintah meskipun akhirnya mengurangi eksklusifitas dari definisi kontrak tersebut.

Dan yang masih hangat berlanjut sampai saat ini adalah dorongan untuk tidak melanjutkan Kontrak Karya dengan perusahaan besar asal Amerika yang menjalankan operasinya di tanah Papua, Freeprot. Sebuah kontrak kerja sama yang umurnya lebih tua dibandingkan kontrak kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Newmont. Ditandatangani pada tahun 1967 sebagai realisasi UU No. 1 tahun 1967 tentang modal asing. Kontrak yang juga telah diperbaiki kesepakatannya untuk meningkatkan porsi manfaat keberadaan perusahaan tambang bagi kemakmuran rakyat. Lagi-lagi sebuah langkah yang memang harus dilaksanakan oleh pemerintah meskipun akhirnya mengurangi eksklusifitas dari definisi kontrak tersebut. Sebenarnya tidak ada yang salah jika pemerintah memutuskan untuk tidak melanjutkan Kontrak Karya Freeport yang akan berakhir tahun 2021. Hanya saja konsekuensinya harus ditanggung mulai saat ini, karena bisa jadi berdasarkan hitungan ekonomis, Freeport tidak akan menanamkan investasi tambahan untuk sesuatu yang akan hilang lima tahun mendatang. Dan banyak pertimbangan lain sehingga pemerintah tidak gegabah menyatakan untuk tidak memperpanjang Kontrak Karya Freeport.

Yang lebih ekstrim tentunya desakan atau skenario pembatalan sepihak kontrak kerja sama antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan tambang asing demi dapat mengelola sendiri kekayaan Indonesia dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.

Sebuah dilema besar  bagi saya yang masih aktif mengaplikasikan ilmu dan idealisme yang saya dapat di bangku pendidikan sebagai pekerja tambang. Banyak yang berpendapat, termasuk saya dalam satu sisi, sudah saatnya kekayaan alam Indonesia dikelola sendiri oleh putra putri Indonesia. Toh secara teknis, kita mampu melakukannya. Kita punya banyak tenaga profesional bidang pertambangan yang tidak hanya bekerja di dalam negeri, tetapi eksistensinya juga sudah diakui dengan mengaktualisasikan diri di luar negeri. Akan tetapi di sisi lain, benarkah semudah itu.

Mari kita lihat dari beberapa sisi. Semoga tidak dihayati dengan intonasi pesimistis. Bagi saya, ini adalah kegundahan realistis untuk persiapan maksimal jika kita memang ingin mewujudkan cita-cita kita dengan benar: mengelola kekayaan Indonesia dengan tangan-tangan kita sendiri untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

1. Apakah kita benar-benar siap untuk mengelola kekayaan alam kita sendiri termasuk konsekuensinya?

Dunia saat ini sudah sangat terbuka akan informasi. Hal kecil yang terjadi detik ini, bisa jadi sudah diketahui oleh orang-orang dari belahan dunia lain dalam beberapa detik kemudian. Apalagi isu besar terkait pengambilalihan perusahaan asing oleh sebuah negara apa pun mekanisme pengambilalihannya. Dalam hal ini bukan antara pemerintah dan perusahan lagi yang terlibat, tapi bisa menyangkut pemerintah ke pemerintah.

Dunia adalah jaring informasi yang terhubung satu sama lain. Kejadian dalam satu bidang akan memberikan pengaruh pada bidang lain. Dunia tambang pada kenyataannya memang tidak berdiri sendiri melainkan terhubung dengan  bidang dan kepentingan yang lain.

Tambang ekstraksi, seperti Newmont dan Freeport, hanyalah mata rantai awal dari rangkaian pemanfaatan produk yang dihasilkan sampai benar-benar bisa digunakan oleh manusia. Di belakang tambang, masih panjang perjalanan produk tersebut untuk bertransformasi menjadi barang siap pakai. Ada industri pemurnian, dilanjutkan oleh industri manufaktur yang lain dan juga distribusi barang jadi produk yang dihasilkan. Mata rantai yang sangat rentan untuk ditinggalkan ketika ada kepentingan lain yang dinomorsatukan.

Berandai-andai, jika pada akhirnya pengelolaan tambang di Indonesia sepenuhnya berada di tangan kita sendiri, pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah kemana kita akan memasarkan produk tambang yang dihasilkan. Sampai pada tahap hasil produk tambang yang murni, mungkin UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang didalamnya mengatur hilirisasi pertambangan yang mengharuskan pemurnian produk tambang di dalam negeri akan bisa menjawab karena kita hanya berurusan dengan diri kita sendiri, meski belakangan masih banyak permasalahan terkait penerapan undang-undang tersebut. Setelah itu? Apakah kita bisa memakai seluruh produk tambang untuk kebutuhan kita sendiri? Jika tidak, benarkah kita bisa menjual produk hasil tambang dari Indonesia ke negara lain di dunia? Ke Amerika Serikat misalnya? Belum tentu. Karena pemasaran bahan tambang ternyata tidak sesederhana supply and demand. Tak pernah bisa dipastikan ketika ada yang membutuhkan bahan tambang, kita bisa langsung menjual kepadanya karena kita memiliki barang. Bisa jadi karena ego kebangsaan yang terusik oleh proses pengambilalihan usaha pertambangan, sebuah perusahaan akan mengabaikan kebutuhannya akan bahan baku karena tekanan dari pemerintah yang terkait dengan perusahaan tersebut.

Jadi, apakah selamanya kita tidak akan pernah bisa mengelola kekayaan yang kita miliki dengan tangan sendiri? Tentu saja bisa selama kita, terutama pemerintah dan pelaku usaha, bisa menjawab persoalan-persolan non teknis tentang keberadaan sebuah tambang.

Selain itu proses pengambilalihan sebuah perusahaan tambang asing juga harus dilakukan dengan cara yang benar, legal dan tidak ‘menyakiti’ pihak lain. Jangan sampai karena semangat kebangsaan yang membabi buta, kita justru terjerumus dalam permasalahan yang lebih besar di masa depan atau lebih parahnya kita hadapi esok hari. Menurut saya, pengambilalihan perusahaan tambang sebaiknya tidak dilakukan dengan pendekatan government to business yang rentan menunjukkan arogansi salah satu pihak sehingga ‘menyakiti’ pihak lain dan tidak menutup kemungkinan akan merembet menjadi konflik government to government. Pengambilalihan perusahaan tambang sebaiknya dilakukan melalui pendekatan business to business. Dengan pendekatan ini, tidak ada pihak yang dirugikan. Penjual kepemilikan merasa diuntungkan karena tentu ada alasan dibalik penjualannya, sedangkan pembeli kepemilikan juga akan diuntungkan karena tentu saja faktor keuntungan inilah yang menjadi pertimbangan utama saat memutuskan untuk membeli suatu kepemilikan perusahaan tertentu.

Dan menurut saya lagi, skema akuisi yang ditawarkan oleh Arifin Panigoro dengan Medco dan konsorsium pendukungnya saat membuka wacana pembelian saham PT. Newmont Nusa Tenggara bisa dipertimbangkan sebagai salah satu jalan pengambilalihan perusahaan tambang yang cukup adil.

Nah, ketika pengelolaan tambang sudah berada di tangan kita sendiri, hal berikutnya yang harus dipastikan adalah komitmen pengelola tambang untuk memastikan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan dan juga distribusi manfaat keberadaan tambang bagi rakyat Indonesia.

 
2. Komitmen pengelolaan lingkungan

Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran yang pada akhirnya menyumbang kebimbangan dalam diri saya saat menghayati kembali keinginan untuk mengelola perusahaan tambang dengan tangan sendiri adalah komitmen pengusaha tambang Indonesia terhadap pengelolaan lingkungan. Masih bisakah kita mempertahankan standar tinggi terkait pengelolaan lingkungan, sama dengan yang dilakukan perusahaan tambang asing yang saat ini beroperasi di Indonesia?

Harus kita akui, salah satu sisi positif perusahaan tambang asing yang saat ini beroperasi di Indonesia adalah komitmen tinggi yang mereka jaga terkait pengelolaan lingkungan. Bisa jadi hal ini berkaitan dengan ke-‘asing’-an mereka sehingga pemerintah merasa harus lebih tegas dan keras dalam menerapkan regulasi terhadap mereka. Bisa jadi juga reputasi perusahaan tambang kelas dunialah yang mereka jaga. Reputasi yang akan mendatangkan keuntungan tidak langsung seperti yang saya ulas dalam tulisan saya sebelumnya. Apa pun itu, keberadaan perusahaan tambang asing yang memiliki komitmen tinggi terhadap pengelolaan lingkungan wajib kita apresiasi sebagai salah satu nilai positif keberadaan mereka.

Lalu, apakah kekhawatiran itu menjadi penghalang cita-cita mulia untuk bisa mengelola sendiri kekayaan yang kita miliki? Tidak. Justru kekahwatiran itulah yang harus dijawab oleh pelaku usaha tambang di Indonesia yang diimplementasikan dalam peraturan pemerintah yang bersifat wajib dan mengikat. Pemilihan pengusaha dan perusahaan yang akan mengelola tambang di Indonesia harus diseleksi seketat dan seobjektif mungkin, salah satunya komitmen pengusaha dan perusahaan tambang dalam hal pengelolaan lingkungan. Komitmen yang bisa direalisasikan dalam bentuk regulasi  yang berkekuatan dan berkonsekuensi hukum. Komitmen yang lebih tinggi atau paling tidak sama dengan yang dimiliki perusahaan asing sebelumnya.

Kalau belum ada pengusaha atau perusahaan lokal yang memiliki komitmen tersebut? Berarti kita harus sedikit bersabar untuk merealisasikan cita-cita mulia untuk bisa mengelola sendiri kekayaan yang kita miliki. Lagi-lagi, jangan sampai kita grusa-grusu karena nasionalisme buta yang pada akhirnya membawa petaka bagi anak cucu kita.

Untuk pemerintah, jangan sampai ketegasan penerapan peraturan melunak hanya karena perbedaan kepemilikan: asing dan pribumi. Karena bisa jadi kepemilikan pribumi hanyalah status karena pada kenyataannya bisa jadi distribusi manfaat keberadaan tambang hanya dinikmati segelintir orang yang ternyata juga banyak menghabiskan uangnya di luar negeri. Jika demikian, apa bedanya dengan saat tambang dikelola asing?

 
3. Distribusi manfaat keberadaan tambang bagi rakyat Indonesia

Masalah dasar yang melatarbelakangi keinginan kuat untuk mengelola kekayaan Indonesia dengan tangan sendiri adalah kesadaran bahwa kekayaan Indonesia tidak dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia sendiri. Justru bangsa asinglah yang mengeruk dan menikmati sebagian besar kekayaan Indonesia. Sehingga pada akhirnya, bangsa Indonesia hanya menjadi bangsa ‘babu’ yang jauh dari kata sejahtera di tengah gelimangan harta bumi pertiwi.

Apakah permasalahan itu otomatis terjawab dengan kepemilikan perusahaan tambang oleh pengusaha dalam negeri? Tidak. Bahkan masalah yang sama berpotensi terulang jika seleksi pengelola tambang dilakukan tanpa mempertimbangkan pemerataan distribusi manfaat tambang bagi rakyat Indonesia. Harus dicermati pengusaha tambang yang dipilih memiliki semangat yang sejalan dengan tujuan mulia yang dicita-citakan. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, jangan sampai kepemilikan pribumi hanyalah status karena pada kenyataannya bisa jadi distribusi manfaat keberadaan tambang hanya dinikmati segelintir orang yang ternyata juga banyak menghabiskan uangnya di luar negeri. Realisasinya? Tentu saja harus dituangkan dalam bentuk regulasi yang berkekuatan dan berkonsekuensi hukum.

Dan, jangan sampai juga terjadi, pengusaha pribumi yang dipilih hanya menjadi simbol saja, sementara modal yang bermain di belakangnya ternyata masih berbau asing juga. Sehingga, tujuan mulia memanfaatkan kekayaan Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat hanya sebatas mimpi yang berubah bentuk simbolisasi saja.
Tidak adil rasanya membebankan semua impian Indonesia kepada pemerintah. Seperti pekerja tambang, pemerintah juga manusia. Pemerintah memiliki keterbatasan-keterbatasan yang hanya bisa dilengkapi oleh sinergi dari semua pihak. Pemerintah menjalankan tugasnya sebagai regulator. Pengusaha memiliki semangat nasionalisme dan kebangsaan yang tinggi. Saya dan semua pekerja tambang tetap bekerja dengan menjaga idealisme praktek penambangan yang baik dan benar.

Jadi, bisakah kita mengelola kekayaan Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat?

BISA.

Tapi jangan grusa-grusu ya…

 

Catatan:

Tulisan di atas hanyalah pandangan pribadi. Tidak hanya terbatas pada apa yang saya sampaikan, pada kenyataannya masih banyak hal lain yang harus menjadi pertimbangan sebelum memutuskan untuk melangkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun