Berandai-andai, jika pada akhirnya pengelolaan tambang di Indonesia sepenuhnya berada di tangan kita sendiri, pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah kemana kita akan memasarkan produk tambang yang dihasilkan. Sampai pada tahap hasil produk tambang yang murni, mungkin UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang didalamnya mengatur hilirisasi pertambangan yang mengharuskan pemurnian produk tambang di dalam negeri akan bisa menjawab karena kita hanya berurusan dengan diri kita sendiri, meski belakangan masih banyak permasalahan terkait penerapan undang-undang tersebut. Setelah itu? Apakah kita bisa memakai seluruh produk tambang untuk kebutuhan kita sendiri? Jika tidak, benarkah kita bisa menjual produk hasil tambang dari Indonesia ke negara lain di dunia? Ke Amerika Serikat misalnya? Belum tentu. Karena pemasaran bahan tambang ternyata tidak sesederhana supply and demand. Tak pernah bisa dipastikan ketika ada yang membutuhkan bahan tambang, kita bisa langsung menjual kepadanya karena kita memiliki barang. Bisa jadi karena ego kebangsaan yang terusik oleh proses pengambilalihan usaha pertambangan, sebuah perusahaan akan mengabaikan kebutuhannya akan bahan baku karena tekanan dari pemerintah yang terkait dengan perusahaan tersebut.
Jadi, apakah selamanya kita tidak akan pernah bisa mengelola kekayaan yang kita miliki dengan tangan sendiri? Tentu saja bisa selama kita, terutama pemerintah dan pelaku usaha, bisa menjawab persoalan-persolan non teknis tentang keberadaan sebuah tambang.
Selain itu proses pengambilalihan sebuah perusahaan tambang asing juga harus dilakukan dengan cara yang benar, legal dan tidak ‘menyakiti’ pihak lain. Jangan sampai karena semangat kebangsaan yang membabi buta, kita justru terjerumus dalam permasalahan yang lebih besar di masa depan atau lebih parahnya kita hadapi esok hari. Menurut saya, pengambilalihan perusahaan tambang sebaiknya tidak dilakukan dengan pendekatan government to business yang rentan menunjukkan arogansi salah satu pihak sehingga ‘menyakiti’ pihak lain dan tidak menutup kemungkinan akan merembet menjadi konflik government to government. Pengambilalihan perusahaan tambang sebaiknya dilakukan melalui pendekatan business to business. Dengan pendekatan ini, tidak ada pihak yang dirugikan. Penjual kepemilikan merasa diuntungkan karena tentu ada alasan dibalik penjualannya, sedangkan pembeli kepemilikan juga akan diuntungkan karena tentu saja faktor keuntungan inilah yang menjadi pertimbangan utama saat memutuskan untuk membeli suatu kepemilikan perusahaan tertentu.
Dan menurut saya lagi, skema akuisi yang ditawarkan oleh Arifin Panigoro dengan Medco dan konsorsium pendukungnya saat membuka wacana pembelian saham PT. Newmont Nusa Tenggara bisa dipertimbangkan sebagai salah satu jalan pengambilalihan perusahaan tambang yang cukup adil.
Nah, ketika pengelolaan tambang sudah berada di tangan kita sendiri, hal berikutnya yang harus dipastikan adalah komitmen pengelola tambang untuk memastikan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan dan juga distribusi manfaat keberadaan tambang bagi rakyat Indonesia.
Â
2. Komitmen pengelolaan lingkungan
Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran yang pada akhirnya menyumbang kebimbangan dalam diri saya saat menghayati kembali keinginan untuk mengelola perusahaan tambang dengan tangan sendiri adalah komitmen pengusaha tambang Indonesia terhadap pengelolaan lingkungan. Masih bisakah kita mempertahankan standar tinggi terkait pengelolaan lingkungan, sama dengan yang dilakukan perusahaan tambang asing yang saat ini beroperasi di Indonesia?
Harus kita akui, salah satu sisi positif perusahaan tambang asing yang saat ini beroperasi di Indonesia adalah komitmen tinggi yang mereka jaga terkait pengelolaan lingkungan. Bisa jadi hal ini berkaitan dengan ke-‘asing’-an mereka sehingga pemerintah merasa harus lebih tegas dan keras dalam menerapkan regulasi terhadap mereka. Bisa jadi juga reputasi perusahaan tambang kelas dunialah yang mereka jaga. Reputasi yang akan mendatangkan keuntungan tidak langsung seperti yang saya ulas dalam tulisan saya sebelumnya. Apa pun itu, keberadaan perusahaan tambang asing yang memiliki komitmen tinggi terhadap pengelolaan lingkungan wajib kita apresiasi sebagai salah satu nilai positif keberadaan mereka.
Lalu, apakah kekhawatiran itu menjadi penghalang cita-cita mulia untuk bisa mengelola sendiri kekayaan yang kita miliki? Tidak. Justru kekahwatiran itulah yang harus dijawab oleh pelaku usaha tambang di Indonesia yang diimplementasikan dalam peraturan pemerintah yang bersifat wajib dan mengikat. Pemilihan pengusaha dan perusahaan yang akan mengelola tambang di Indonesia harus diseleksi seketat dan seobjektif mungkin, salah satunya komitmen pengusaha dan perusahaan tambang dalam hal pengelolaan lingkungan. Komitmen yang bisa direalisasikan dalam bentuk regulasi  yang berkekuatan dan berkonsekuensi hukum. Komitmen yang lebih tinggi atau paling tidak sama dengan yang dimiliki perusahaan asing sebelumnya.
Kalau belum ada pengusaha atau perusahaan lokal yang memiliki komitmen tersebut? Berarti kita harus sedikit bersabar untuk merealisasikan cita-cita mulia untuk bisa mengelola sendiri kekayaan yang kita miliki. Lagi-lagi, jangan sampai kita grusa-grusu karena nasionalisme buta yang pada akhirnya membawa petaka bagi anak cucu kita.
Untuk pemerintah, jangan sampai ketegasan penerapan peraturan melunak hanya karena perbedaan kepemilikan: asing dan pribumi. Karena bisa jadi kepemilikan pribumi hanyalah status karena pada kenyataannya bisa jadi distribusi manfaat keberadaan tambang hanya dinikmati segelintir orang yang ternyata juga banyak menghabiskan uangnya di luar negeri. Jika demikian, apa bedanya dengan saat tambang dikelola asing?