Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal sedang duduk di sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan, menikmati malam yang penuh cerita absurd tentang kehidupan. Mereka adalah sahabat lama yang sering berkumpul untuk mengkritik dunia dengan gaya jenaka mereka.
"Bro, kalian dengar nggak berita tadi pagi?" Kobar memulai pembicaraan sambil menyeruput kopi hitamnya. "Si itu, koruptor yang bawa kabur uang rakyat miliaran, cuma dihukum enam tahun penjara."
Kahar mengangkat alisnya. "Enam tahun? Itu bahkan lebih pendek dari masa cicilan motor gua!" Semua tertawa, kecuali Rijal, yang tampak termenung.
"Jadi gini," Kahar melanjutkan. "Koruptor itu nggak cuma pintar ngitung uang, tapi juga pintar cari celah hukum. Kayak main petak umpet aja." Ia menirukan gaya anak kecil berteriak, "Sudah ketangkap, tapi... bisa ngumpet lagi!"
"Tapi, bro," Badu menyela sambil menyilangkan tangan di dada. "Nggak adil dong kalau mereka dihukum berat. Kan mereka harus tetap bisa menikmati hasil kerja keras mereka."
Semua memandang Badu dengan bingung.
"Kerja keras?" Rijal akhirnya angkat bicara. "Maksud lo, kerja keras nyusun rencana korupsi?"
Badu mengangguk penuh percaya diri. "Ya, pasti butuh otak cerdas buat ngelakuin itu semua. Lagian, hukum di sini kan kayak rem angkot; kadang ngerem, kadang blong. Jadi ya, wajar aja kalau hukumannya nggak berat-berat amat."
Kobar tertawa kecil. "Tunggu dulu, Badu. Lo becanda kan?"
Badu tersenyum. "Nggak becanda, gue realistis. Ini negara butuh hiburan. Bayangin kalau semua koruptor dihukum berat, nggak ada lagi meme lucu soal penjara mewah atau napi yang bisa karaokean di selnya."