Di sebuah warung kopi pinggiran Jakarta, empat sahabat karib duduk melingkar sambil memandang layar ponsel masing-masing. Kobar, sang seniman yang selalu mengenakan syal di leher meski cuaca panas, tampak gusar. Kahar, kritikus seni amatiran yang lebih sering kritik makanan di media sosial, duduk sambil menyeruput kopi hitam. Badu, pebisnis kecil-kecilan dengan mimpi besar, mengunyah pisang goreng. Rijal, mahasiswa filsafat yang baru saja menamatkan buku Nietzsche ketujuhnya, duduk termenung sambil memainkan sendok.
"Kalian tahu nggak? Koruptor ratusan triliun cuma divonis 6 tahun!" seru Kobar sambil melempar ponselnya ke meja.
"Seriusan?" Kahar mengangkat alis, seolah baru mendengar lelucon terburuk sepanjang masa.
"Iya! Bayangin, uang negara habis buat jet pribadi, vila di luar negeri, terus vonisnya cuma enam tahun. Enam tahun, bro!" Kobar meremas syalnya dengan penuh drama.
"Mungkin hakimnya lagi diskon," Badu tergelak. "Atau salah baca vonis, harusnya 60 tahun."
"Gue rasa itu strategi," ujar Rijal dengan nada datar tapi mematikan. "Sistem ini dirancang supaya kita lupa seiring waktu. Enam tahun itu sebentar, setelah itu dia balik jadi sosialita."
"Kalian nggak ngerti! Ini soal keadilan," Kobar menatap mereka tajam. "Kalau kita diam, artinya kita ikut mendukung."
"Lo mau gimana? Demo?" tanya Kahar sambil mengangkat cangkir kopinya.
"Bukan demo biasa," kata Kobar sambil memukul meja. "Gue mau bikin instalasi seni! Sebuah patung besar koruptor dengan timbangan keadilan yang miring. Di bawahnya, ada rakyat kecil yang diinjak. Ini seni protes!"
"Patung koruptor?" Badu tergelak lagi. "Mungkin lo bisa tambahin pigura bertuliskan, 'Jangan Ditiru!'"