Di sebuah warung kopi pinggiran Jakarta, empat sahabat karib kembali berkumpul di malam tahun baru 2025. Kobar, sang seniman dengan syal khasnya, duduk sambil memandangi kanvas kecil yang ia bawa. Kahar, kritikus segala hal, termasuk makanan ringan, menyeruput kopi sambil melirik media sosial. Badu, pengusaha kecil yang bercita-cita besar, sibuk memesan makanan tambahan. Rijal, mahasiswa filsafat yang kini lebih sering membaca meme ketimbang Nietzsche, duduk termenung sambil memainkan petasan kecil di tangannya.
"Kalian sadar nggak, tahun 2024 kemarin kita cuma sibuk ngomongin hal-hal besar tapi nggak ngapa-ngapain?" ujar Kobar, meletakkan kuasnya.
"Itu lo aja," balas Kahar tanpa menoleh. "Gue sih produktif. Lihat nih, 500 postingan kritik makanan gue viral semua."
"Kritik makanan?" Badu tergelak. "Kahar, kalau lo produktif, kenapa warung kopi ini nggak ada yang berubah sejak tahun lalu? Bahkan pelayan masih yang sama."
"Jangan salahkan gue!" Kahar membela diri. "Ini bukan soal gue, tapi sistem ekonomi."
"Kahar, diamlah," ujar Rijal sambil meledakkan petasan kecilnya. "Gue lagi merenungkan sesuatu."
"Merenungkan apa, oh filsuf besar?" ejek Kobar.
"Kenapa setiap tahun baru kita selalu bikin resolusi yang nggak akan kita lakuin? Apa itu bentuk kebodohan kolektif?" jawab Rijal, suaranya berat tapi penuh ironi.
"Itu tradisi, bro," kata Badu sambil menggigit pisang goreng. "Kayak bikin resolusi 'mulai olahraga', tapi akhirnya cuma olahraga jempol di ponsel."
"Gue nggak cuma olahraga jempol," Kobar menyela. "Tahun ini gue beneran bikin karya besar. Sebuah lukisan yang bakal merangkum semua keresahan masyarakat."
"Karya besar? Jangan bilang itu ayam pakai jas lagi," cemooh Kahar.
"Bukan," jawab Kobar tegas. "Gue mau melukis keramaian malam tahun baru. Orang-orang yang selfie depan kembang api sambil lupa mereka belum bayar tagihan listrik."
"Satir yang menarik," kata Rijal sambil mengangguk. "Tapi apakah lukisan itu akan mengubah apa pun? Orang-orang akan tetap selfie dan tetap lupa bayar tagihan."
"Ya, setidaknya seni gue punya makna!" Kobar bersikeras. "Nggak kayak kalian, cuma ngomong kosong tanpa aksi."
"Ngomong-ngomong soal aksi," Badu menyela, "Kenapa kita nggak bikin acara tahun baru yang beda? Misalnya, bikin diskusi publik tentang resolusi. Ajak warga sekitar, bahas resolusi realistis."
"Diskusi publik di malam tahun baru?" Kahar tertawa. "Lo pikir siapa yang mau datang? Semua orang lagi sibuk bakar jagung dan main petasan."
"Tapi itu ide bagus," ujar Rijal sambil tersenyum kecil. "Kita bisa mulai tradisi baru. Tahun baru bukan cuma tentang perayaan kosong, tapi refleksi bersama."
Akhirnya, mereka sepakat mencoba ide Badu. Dengan persiapan seadanya, mereka menyulap warung kopi menjadi tempat diskusi. Di luar dugaan, puluhan warga datang, tertarik oleh ide unik tersebut. Diskusi berlangsung seru, dengan berbagai usulan resolusi realistis: dari menanam pohon di halaman rumah hingga mengurangi waktu bermain ponsel.
Di tengah diskusi, Kobar berdiri dan berkata, "Tahun ini, gue janji akan membuat seni yang benar-benar bicara pada masyarakat. Bukan cuma protes, tapi solusi."
"Dan gue," tambah Kahar, "akan mulai mengkritik sesuatu yang lebih berarti. Mungkin kebijakan publik, bukan cuma makanan."
"Gue akan bikin usaha yang nggak cuma untung buat gue, tapi juga bermanfaat buat orang banyak," ujar Badu penuh semangat.
Rijal tersenyum sambil mengangkat cangkir kopinya. "Kalau begitu, tahun 2025 kita mulai dengan satu langkah kecil yang berarti."
Malam itu, mereka menutup tahun dengan tawa dan harapan baru. Resolusi mereka mungkin sederhana, tapi untuk pertama kalinya, ada harapan bahwa itu akan menjadi kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H