"Karya besar? Jangan bilang itu ayam pakai jas lagi," cemooh Kahar.
"Bukan," jawab Kobar tegas. "Gue mau melukis keramaian malam tahun baru. Orang-orang yang selfie depan kembang api sambil lupa mereka belum bayar tagihan listrik."
"Satir yang menarik," kata Rijal sambil mengangguk. "Tapi apakah lukisan itu akan mengubah apa pun? Orang-orang akan tetap selfie dan tetap lupa bayar tagihan."
"Ya, setidaknya seni gue punya makna!" Kobar bersikeras. "Nggak kayak kalian, cuma ngomong kosong tanpa aksi."
"Ngomong-ngomong soal aksi," Badu menyela, "Kenapa kita nggak bikin acara tahun baru yang beda? Misalnya, bikin diskusi publik tentang resolusi. Ajak warga sekitar, bahas resolusi realistis."
"Diskusi publik di malam tahun baru?" Kahar tertawa. "Lo pikir siapa yang mau datang? Semua orang lagi sibuk bakar jagung dan main petasan."
"Tapi itu ide bagus," ujar Rijal sambil tersenyum kecil. "Kita bisa mulai tradisi baru. Tahun baru bukan cuma tentang perayaan kosong, tapi refleksi bersama."
Akhirnya, mereka sepakat mencoba ide Badu. Dengan persiapan seadanya, mereka menyulap warung kopi menjadi tempat diskusi. Di luar dugaan, puluhan warga datang, tertarik oleh ide unik tersebut. Diskusi berlangsung seru, dengan berbagai usulan resolusi realistis: dari menanam pohon di halaman rumah hingga mengurangi waktu bermain ponsel.
Di tengah diskusi, Kobar berdiri dan berkata, "Tahun ini, gue janji akan membuat seni yang benar-benar bicara pada masyarakat. Bukan cuma protes, tapi solusi."
"Dan gue," tambah Kahar, "akan mulai mengkritik sesuatu yang lebih berarti. Mungkin kebijakan publik, bukan cuma makanan."
"Gue akan bikin usaha yang nggak cuma untung buat gue, tapi juga bermanfaat buat orang banyak," ujar Badu penuh semangat.