Jabatan publik, dari masa ke masa, selalu memiliki daya tarik tersendiri bagi banyak orang. Seiring dengan berkembangnya sistem demokrasi dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keterlibatan politik, jabatan publik seharusnya menjadi ruang bagi mereka yang ingin mengabdi untuk kebaikan masyarakat luas. Namun, apa yang kita saksikan hari ini sering kali jauh dari ideal. Jabatan publik, yang seharusnya menjadi ladang pelayanan, telah berubah menjadi medan perebutan kekuasaan dan keuntungan pribadi. Mengapa jabatan publik begitu memikat? Apakah benar-benar soal pengabdian, atau ada agenda-agenda lain yang lebih mendominasi?
Prestise dan Kekuasaan: Magnet yang Kuat
Tidak bisa disangkal, jabatan publik membawa serta prestise dan kekuasaan yang memikat. Dalam banyak budaya, terutama di Indonesia, mereka yang menduduki jabatan publik sering kali dipandang sebagai orang yang "berbeda," seolah berada di kasta yang lebih tinggi. Mereka diundang ke acara-acara penting, menerima penghormatan dari berbagai kalangan, dan diberikan ruang khusus dalam pergaulan sosial. Prestise ini, bagi banyak orang, lebih dari sekadar penghargaan; ia menjadi simbol pencapaian status yang diidam-idamkan.
Di sisi lain, kekuasaan yang melekat pada jabatan publik memberikan kemampuan untuk mengendalikan kebijakan, mengarahkan pembangunan, dan mempengaruhi kehidupan masyarakat secara luas. Kekuasaan ini, jika digunakan dengan bijak, bisa membawa perubahan positif yang signifikan. Namun, di balik kekuasaan ini, ada juga potensi besar untuk disalahgunakan. Godaan untuk memperkaya diri sendiri, memanfaatkan posisi untuk keuntungan pribadi, atau melindungi kepentingan kelompok tertentu sering kali menjadi kenyataan yang kita saksikan dalam berbagai skandal politik.
Jabatan Publik: Jalan Menuju Kekayaan ?
Salah satu daya tarik jabatan publik yang paling sering disoroti adalah potensi keuntungan finansial yang dapat diraih. Meskipun secara formal gaji pejabat publik tidak tergolong tinggi dibandingkan profesi lain, akses yang mereka miliki terhadap sumber daya dan jaringan memungkinkan mereka untuk menambah pundi-pundi kekayaan secara signifikan. Fenomena ini bukan hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga di tingkat daerah. Tidak jarang kita mendengar berita tentang pejabat yang terlibat korupsi, memanfaatkan anggaran negara untuk memperkaya diri, atau menjalin kolusi dengan pengusaha demi keuntungan pribadi.
Dalam kondisi seperti ini, jabatan publik bukan lagi tentang melayani masyarakat, melainkan menjadi "investasi" bagi sebagian orang. Mereka rela mengeluarkan dana besar saat kampanye, berharap kelak bisa "membalas modal" tersebut melalui berbagai cara ketika sudah terpilih. Praktik seperti ini melanggengkan budaya korupsi, karena pejabat yang terpilih merasa memiliki hak untuk mengambil keuntungan dari jabatan yang telah diperoleh melalui perjuangan finansial.
Kepentingan Pribadi vs. Kepentingan Publik
Jabatan publik seharusnya menjadi sarana untuk memperjuangkan kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Namun, kenyataannya, banyak pejabat yang lebih sibuk mengamankan posisi dan memperluas jaringan kekuasaan mereka daripada benar-benar mengurusi kebutuhan rakyat. Alih-alih fokus pada program-program yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, mereka lebih memilih kebijakan yang menguntungkan partai politik mereka, kroni, atau bahkan kepentingan bisnis pribadi.
Misalnya, proyek-proyek pembangunan yang seharusnya bermanfaat bagi masyarakat luas sering kali dijalankan dengan tujuan tersembunyi untuk menguntungkan segelintir pihak. Pengadaan barang dan jasa pemerintah menjadi ladang basah untuk memutar modal politik menjadi keuntungan ekonomi pribadi. Kebijakan yang dirancang pun sering kali lebih memperhatikan kepentingan investor atau donatur politik daripada memperbaiki kualitas hidup rakyat jelata.
Lebih ironis lagi, dalam banyak kasus, kepentingan pribadi ini ditutupi dengan retorika pengabdian dan pelayanan. Pejabat publik kerap kali berbicara tentang "mengabdi kepada rakyat," padahal kebijakan yang mereka buat justru mengkhianati janji tersebut. Publik sering kali terbuai oleh janji-janji manis, tanpa menyadari bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah penyimpangan dari amanah yang telah diberikan.
Perlu Pembaruan Moral dalam Jabatan Publik
Lantas, bagaimana kita bisa keluar dari jeratan jabatan publik yang telah terdistorsi ini? Solusinya bukanlah dengan menghilangkan jabatan publik itu sendiri, melainkan dengan menata ulang sistem yang ada dan memperkuat moralitas di dalamnya. Salah satu langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistem rekrutmen pejabat publik. Saat ini, proses pemilihan pejabat publik sering kali lebih berfokus pada popularitas atau kekuatan modal politik daripada kompetensi dan integritas. Kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga memiliki moralitas yang kuat dan komitmen yang tulus untuk melayani.
Selain itu, perlu ada transparansi dan pengawasan yang ketat terhadap pejabat publik. Pengelolaan anggaran, pelaksanaan proyek, dan pengambilan kebijakan harus selalu diawasi dengan seksama oleh lembaga independen yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan politik. Dengan demikian, mereka yang menyalahgunakan jabatan publik untuk kepentingan pribadi bisa segera diidentifikasi dan diberikan sanksi yang tegas.
Yang tak kalah penting adalah membangun budaya politik yang lebih sehat. Budaya politik yang baik tidak hanya membutuhkan pejabat publik yang berintegritas, tetapi juga masyarakat yang kritis dan berani bersuara. Masyarakat harus sadar bahwa jabatan publik adalah amanah, dan mereka yang mendudukinya harus bertanggung jawab kepada publik. Kita perlu mendorong warga negara untuk lebih aktif mengawasi dan mengkritisi para pemimpin mereka, sehingga jabatan publik benar-benar menjadi sarana pengabdian, bukan sekadar batu loncatan menuju kekayaan atau kekuasaan.
Kembali ke Esensi Jabatan Publik
Jabatan publik pada dasarnya adalah amanah besar yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka yang dipercaya untuk memimpin. Namun, godaan prestise, kekuasaan, dan keuntungan pribadi telah mengaburkan esensi dari jabatan ini. Dalam situasi seperti ini, sangat penting bagi kita semua, baik masyarakat maupun pejabat itu sendiri, untuk kembali merenungi makna dari jabatan publik tersebut. Hanya dengan mengembalikan jabatan publik ke fungsi utamanya---mengabdi kepada rakyat---kita bisa membangun sistem pemerintahan yang lebih adil, transparan, dan berorientasi pada kepentingan bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI