Di sebuah kafe seni yang ramai, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal berkumpul dengan secangkir kopi dan beberapa sketsa. Di dinding, lukisan-lukisan berwarna cerah bersaing dengan mural modern yang menggambarkan kekacauan dunia. Suasana semakin meriah ketika mereka mulai membahas topik yang sedang hangat: "Seni Rupa Indonesia Mau ke Mana?"
"Jadi, apa pendapat kalian? Kita ini sebagai seniman Indonesia, sebenarnya mau ke mana?" tanya Kobar, menggerakkan sendoknya dalam cangkir.
Kahar, yang dikenal serius, menyandarkan punggungnya ke kursi. "Seni rupa kita sepertinya sedang mengalami krisis identitas. Apakah kita ingin tetap berpegang pada tradisi, atau kita mau berani mengeksplorasi hal baru?"
Badu, yang selalu memiliki pandangan lucu, segera menimpali. "Atau kita bisa melakukan keduanya! Tradisi dengan sedikit sentuhan modern. Misalnya, lukisan batik dengan gaya anime! 'Batik Otaku'!"
Semua tertawa, termasuk Kahar yang biasanya kaku. "Bisa jadi, tetapi apakah itu masih disebut batik? Atau justru menjadi 'batik yang bingung'?"
Rijal, yang paling tenang, berpikir sejenak. "Mungkin seni rupa Indonesia perlu menilai kembali makna dari identitas. Kita tidak bisa terjebak pada satu definisi saja. Harus ada ruang untuk inovasi."
Kobar menambahkan, "Tapi, apakah inovasi kita hanya akan menjadi tiruan dari seni Barat? Kita perlu menemukan suara unik kita sebagai seniman Indonesia."
Kahar mengangguk. "Persis! Kita harus bisa menunjukkan bahwa seni rupa Indonesia itu kaya akan nilai dan makna. Tetapi kadang, kita juga terjebak dalam stereotip."
Badu mengangkat tangan, "Seperti 'Seni Rupa: Semangat dari Tanah Air'! Padahal di dalamnya, kita hanya menggambar pemandangan sawah dan gunung! Itu semua bagus, tetapi kita perlu lebih dari itu!"
"Jadi, apa solusinya?" tanya Rijal. "Apakah kita perlu membentuk komunitas seni yang lebih kuat? Mengajak kolaborasi antar seniman dari berbagai daerah?"
Kobar mencetot. "Itu ide yang bagus! Tapi jangan sampai kita terjebak dalam jargon tanpa tindakan. Kita harus benar-benar melakukannya."
Kahar berpikir sejenak. "Atau kita bisa memanfaatkan teknologi! Menggunakan media sosial untuk mendistribusikan karya kita ke audiens yang lebih luas. Dengan cara ini, kita bisa mencapai orang-orang yang mungkin tidak mengenal seni rupa Indonesia."
"Benar! Kita bisa membuat hashtag '#SeniRupaIndonesiaMaju'!" Badu mengusulkan, sambil menirukan gaya influencer. "Mari kita go viral!"
Rijal tertawa, "Tapi, kita harus tetap ingat untuk tidak kehilangan substansi. Jika semua yang kita lakukan hanya untuk mendapatkan 'likes', itu tidak akan membawa kita ke mana-mana."
Kobar mengangguk setuju. "Kita perlu meredefinisi apa arti sukses bagi seniman. Apakah itu tentang ketenaran, atau justru dampak karya kita terhadap masyarakat?"
"Dan bagaimana jika kita menciptakan karya yang benar-benar menggugah?" Kahar menambahkan. "Seperti karya yang menyentuh isu sosial, lingkungan, atau bahkan politik."
"Ya, tapi itu berarti kita juga harus siap menghadapi kritik!" Badu menyahut. "Karena kadang, masyarakat lebih suka melihat lukisan yang indah tanpa ada beban."
"Jadi, seni rupa kita mau ke mana?" Rijal bertanya kembali, seolah ingin merangkum semua diskusi. "Apakah kita berani mengambil risiko untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berani?"
Kobar menjawab, "Seni rupa Indonesia tidak boleh stagnan. Kita harus berani mengambil langkah ke depan, tetapi tetap dengan menghargai warisan kita."
"Kalau begitu, mari kita buat rencana aksi!" Badu bersemangat. "Kita bisa mengorganisir pameran seni yang menyajikan karya-karya dengan tema berani!"
Kahar tersenyum lebar. "Dan kita bisa mengundang kurator untuk melihat bagaimana seni kita berkembang. Siapa tahu, kita bisa menarik perhatian dunia!"
Rijal menambahkan, "Kita harus berani bermimpi. Jika kita bisa mewujudkan ide-ide ini, mungkin kita bisa membantu menentukan arah seni rupa Indonesia."
Dengan semangat baru, mereka berempat mulai merencanakan pameran seni mereka. Sambil tertawa dan bercanda, mereka menyadari satu hal: bahwa masa depan seni rupa Indonesia tidak hanya ditentukan oleh satu orang atau satu aliran. Mereka adalah bagian dari perjalanan itu---sebuah kolaborasi yang terus berlanjut.
Di luar kafe, langit senja mulai memerah, menciptakan latar belakang yang sempurna untuk diskusi mereka. Dan meski mereka belum menemukan jawaban pasti tentang ke mana seni rupa Indonesia akan pergi, mereka berkomitmen untuk menjadikannya perjalanan yang berarti, penuh kreativitas, dan keberanian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H