Kobar mencetot. "Itu ide yang bagus! Tapi jangan sampai kita terjebak dalam jargon tanpa tindakan. Kita harus benar-benar melakukannya."
Kahar berpikir sejenak. "Atau kita bisa memanfaatkan teknologi! Menggunakan media sosial untuk mendistribusikan karya kita ke audiens yang lebih luas. Dengan cara ini, kita bisa mencapai orang-orang yang mungkin tidak mengenal seni rupa Indonesia."
"Benar! Kita bisa membuat hashtag '#SeniRupaIndonesiaMaju'!" Badu mengusulkan, sambil menirukan gaya influencer. "Mari kita go viral!"
Rijal tertawa, "Tapi, kita harus tetap ingat untuk tidak kehilangan substansi. Jika semua yang kita lakukan hanya untuk mendapatkan 'likes', itu tidak akan membawa kita ke mana-mana."
Kobar mengangguk setuju. "Kita perlu meredefinisi apa arti sukses bagi seniman. Apakah itu tentang ketenaran, atau justru dampak karya kita terhadap masyarakat?"
"Dan bagaimana jika kita menciptakan karya yang benar-benar menggugah?" Kahar menambahkan. "Seperti karya yang menyentuh isu sosial, lingkungan, atau bahkan politik."
"Ya, tapi itu berarti kita juga harus siap menghadapi kritik!" Badu menyahut. "Karena kadang, masyarakat lebih suka melihat lukisan yang indah tanpa ada beban."
"Jadi, seni rupa kita mau ke mana?" Rijal bertanya kembali, seolah ingin merangkum semua diskusi. "Apakah kita berani mengambil risiko untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berani?"
Kobar menjawab, "Seni rupa Indonesia tidak boleh stagnan. Kita harus berani mengambil langkah ke depan, tetapi tetap dengan menghargai warisan kita."
"Kalau begitu, mari kita buat rencana aksi!" Badu bersemangat. "Kita bisa mengorganisir pameran seni yang menyajikan karya-karya dengan tema berani!"
Kahar tersenyum lebar. "Dan kita bisa mengundang kurator untuk melihat bagaimana seni kita berkembang. Siapa tahu, kita bisa menarik perhatian dunia!"