Fenomena hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas bukanlah isu baru di Indonesia. Berbagai contoh kasus kerap memperlihatkan betapa tidak seimbangnya penerapan hukum di negeri ini. Sering kali, mereka yang berada di lapisan bawah masyarakat menjadi korban dari ketidakadilan sistem, sementara orang-orang berkuasa dan kaya tampak kebal hukum, melenggang bebas dari konsekuensi yang seharusnya mereka hadapi.
Namun, bagaimana mungkin sebuah sistem hukum, yang seharusnya menjadi pilar keadilan, bisa bekerja dengan begitu tidak adil? Mengapa ketimpangan dalam penerapan hukum ini seakan menjadi norma yang kita terima begitu saja, tanpa perlawanan berarti dari masyarakat? Apakah hukum benar-benar hanya menjadi alat kekuasaan bagi segelintir elite?
Masyarakat Kecil: Korban yang Tak Berdaya
Salah satu contoh nyata ketimpangan hukum adalah bagaimana hukum diterapkan kepada masyarakat miskin. Dalam berbagai kasus, orang-orang kecil yang terseret kasus hukum kerap mendapatkan hukuman berat meskipun pelanggarannya terbilang ringan. Seorang pencuri ayam atau sandal, misalnya, bisa mendapat hukuman penjara berbulan-bulan. Sementara itu, kasus korupsi yang melibatkan angka miliaran atau triliunan rupiah justru sering berujung dengan vonis ringan, bahkan ada yang dibebaskan karena alasan teknis atau 'tidak cukup bukti'.
Ketidakadilan ini menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Mereka yang kurang mampu tidak hanya terpinggirkan secara ekonomi, tetapi juga menjadi target dari hukum yang cenderung lebih represif terhadap mereka. Pengacara mahal, akses ke perlindungan hukum, serta kemampuan melobi---semua ini jauh dari jangkauan mereka, membuat masyarakat kecil harus menerima nasib tanpa bisa melawan. Alhasil, mereka hanya bisa menerima hukuman yang dijatuhkan tanpa harapan mendapatkan keadilan yang sejati.
Kekuasaan dan Kekayaan: Tameng yang Tangguh
Sementara itu, di sisi lain, kita sering melihat kasus-kasus besar yang melibatkan para pejabat tinggi, politisi, atau pengusaha kaya berakhir dengan ketidakjelasan. Bahkan jika mereka sempat diseret ke pengadilan, proses hukum bisa berjalan lambat atau berhenti begitu saja tanpa ada tindak lanjut yang berarti. Ujung-ujungnya, pelaku bisa kembali ke panggung politik atau bisnis seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Fenomena ini memperkuat persepsi bahwa hukum hanyalah alat bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan uang. Pengacara papan atas bisa "membeli" kebebasan klien mereka, sementara koneksi politik bisa melindungi mereka dari jeratan hukum. Ini bukan hanya pelanggaran terhadap prinsip dasar keadilan, tetapi juga menunjukkan bagaimana hukum bisa dijadikan alat politik untuk melindungi kepentingan segelintir orang.
Dampak Sosial dari Ketidakadilan Hukum
Ketika hukum berlaku tidak adil, masyarakat yang berada di bawah lapisan sosial tidak hanya kehilangan kepercayaan pada sistem, tetapi juga merasa termarginalkan secara lebih dalam. Mereka melihat bahwa upaya untuk hidup sesuai aturan dan undang-undang tidak menjamin keadilan. Ini menciptakan keresahan sosial yang berpotensi meledak dalam bentuk protes atau bahkan tindakan main hakim sendiri.
Masyarakat yang merasa bahwa hukum tidak berpihak pada mereka cenderung mencari solusi di luar jalur hukum. Dalam konteks ini, ketidakadilan hukum dapat mendorong meningkatnya aksi-aksi kekerasan, vigilante, atau kerusuhan sosial. Ketika hukum tidak bisa diandalkan untuk melindungi hak-hak dasar, masyarakat akan menciptakan "hukum" mereka sendiri, dan ini bisa memicu kekacauan yang lebih luas.
Bagaimana Seharusnya Hukum Bekerja?
Hukum seharusnya menjadi alat yang adil, tidak memandang status sosial, kekayaan, atau jabatan. Prinsip keadilan sejati adalah hukum yang berlaku setara bagi semua orang, dari rakyat biasa hingga pejabat tinggi. Namun, mewujudkan hal ini memerlukan reformasi serius, baik dalam sistem peradilan maupun dalam mentalitas para penegak hukum itu sendiri.
Pertama, transparansi dalam proses penegakan hukum harus menjadi prioritas utama. Masyarakat harus bisa melihat secara jelas bagaimana kasus-kasus hukum ditangani dan diputuskan, terutama yang melibatkan pejabat publik atau pengusaha besar. Dengan demikian, tekanan publik dapat menjadi kontrol sosial yang meminimalisir praktik-praktik manipulasi hukum di balik layar.
Kedua, para penegak hukum---dari polisi hingga hakim---harus benar-benar merdeka dari intervensi politik dan ekonomi. Mereka harus bekerja dengan integritas tinggi, tanpa takut atau tergoda oleh kekuasaan. Sistem meritokrasi yang ketat serta peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum bisa menjadi langkah awal untuk mengurangi peluang korupsi dan kolusi.
Ketiga, perbaikan akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin harus menjadi perhatian utama. Negara harus menyediakan bantuan hukum yang memadai bagi mereka yang tidak mampu, agar mereka bisa mendapatkan pembelaan yang layak dan tidak terjebak dalam jerat sistem yang tidak adil. Ini bisa dimulai dengan penguatan peran lembaga bantuan hukum yang benar-benar proaktif dalam memperjuangkan keadilan bagi semua lapisan masyarakat.
Harapan untuk Hukum yang Adil
Hukum adalah cermin dari keadilan sosial dalam suatu bangsa. Jika hukum terus tajam ke bawah dan tumpul ke atas, kita tidak hanya sedang menyaksikan kehancuran moralitas publik, tetapi juga memperlebar jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan negara. Reformasi hukum tidak bisa ditunda lagi jika kita ingin membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Sudah saatnya kita bergerak melawan ketimpangan ini, karena hukum yang sejati adalah hukum yang berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan atau kekayaan. Jangan biarkan hukum menjadi alat tirani yang hanya menghukum yang lemah, sementara yang kuat terus berkuasa tanpa rasa takut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI