Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kobar dan Luapan Emosi yang Terlalu Luap

24 Oktober 2024   15:47 Diperbarui: 24 Oktober 2024   15:48 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah studio seni kecil, Kobar berdiri di depan kanvas yang tampak seperti medan perang. Warna-warna merah, biru, kuning, dan hijau berbaur dalam sapuan kuas yang kacau, garis-garisnya liar, dan teksturnya tampak seperti sesuatu yang dilukis oleh badai. Kobar baru saja selesai menciptakan masterpiece-nya yang ia sebut sebagai "Ekspresi Jiwa Tersesat di Antara Harapan dan Kegelisahan."

Sementara itu, tiga sahabatnya---Kahar, Badu, dan Rijal---berdiri di belakangnya, menatap penuh kebingungan dan sedikit ketakutan.

"Aku menyebut ini... ekspresionisme!" Kobar berkata dengan penuh keyakinan. "Ini tentang emosi yang tidak terkendali, ledakan perasaan yang tak terbendung. Lihat garis-garis ini! Lihat warna-warna ini! Ini adalah jeritan jiwa yang ingin keluar dari penjara kehidupan!"

Kahar, yang biasanya paling suportif, terlihat bingung. "Emosi... ya? Apa maksudmu ini lukisan emosi, Kobar?"

Badu, yang jarang bisa menahan komentar tajamnya, langsung memotong. "Ini lebih kelihatan seperti perkelahian cat. Apa ini tadi catnya berkelahi sendiri sebelum kamu mulai?"

Kobar langsung menatap Badu dengan tatapan yang nyaris dramatis. "Badu, kamu tidak mengerti! Ekspresionisme bukan soal bentuk atau detail yang rapi. Ini soal mengekspresikan emosi yang paling dalam, tanpa batas!"

Rijal, yang selama ini cukup sabar, maju mendekati lukisan itu. "Aku bisa melihat ada sesuatu yang sedang terjadi di sini... tapi jujur saja, aku nggak tahu itu apa. Apa yang kamu coba sampaikan, Kobar?"

Kobar menghela napas panjang, seperti seorang guru yang menghadapi murid-murid yang tidak paham pelajaran. "Rijal, ini adalah ungkapan kegelisahan manusia modern! Lihat sapuan merah ini! Ini adalah marah yang tak terucapkan! Dan biru di sini---ini adalah duka yang dalam, lautan kesedihan yang tidak terlihat. Semuanya mengalir bersama, dalam harmoni yang tidak sempurna!"

Kahar memiringkan kepala, mencoba lebih memahami. "Jadi, merah itu marah, biru itu sedih... dan yang kuning? Apa itu kebahagiaan?"

Kobar mengangguk penuh semangat. "Tepat sekali, Kahar! Kuning itu kebahagiaan yang terperangkap di antara semua kegelisahan ini. Dia berusaha keluar, tapi terhimpit oleh tekanan emosional di sekitarnya. Kalian harus merasakannya, bukan hanya melihatnya!"

Badu, yang sekarang semakin geli, menyela lagi. "Aku sih merasa seperti aku sedang tersesat di taman bermain anak-anak dengan terlalu banyak balon warna-warni yang pecah di wajahku."

Rijal tertawa kecil, tapi mencoba menjaga percakapan tetap serius. "Kobar, aku paham kamu ingin menangkap emosi yang mendalam. Tapi jujur saja, aku tidak bisa melihat bentuk atau cerita yang jelas di sini. Semua ini terlalu... acak."

Kobar mengangkat tangannya dramatis, seolah ingin memanggil angin kencang untuk membela dirinya. "Rijal, ekspresionisme tidak butuh bentuk! Ini adalah murni emosi, sapuan kuas yang spontan, tanpa aturan! Kamu tidak harus mencari cerita yang jelas, tapi merasakan kekacauan batin yang ada di balik setiap garis dan warna ini!"

Kahar mengangguk-angguk pelan. "Oke, oke, aku bisa menerima itu. Tapi, ya, tetap saja... apa tidak ada sedikit kontrol? Maksudku, emosi itu bisa kuat, tapi kalau semuanya meledak tanpa arah, aku jadi pusing melihatnya."

Badu tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk salah satu bagian kanvas. "Kobar, jujur aja deh. Bagian ini... apa ini? Aku merasa kayak lihat bekas sapuan pel yang nyasar di sini."

Kobar mendekati bagian yang ditunjuk Badu dan mencoba merasionalisasi. "Itu adalah simbolisasi dari kekacauan dalam keteraturan. Sebuah pengingat bahwa dalam kehidupan yang penuh tekanan, ada momen-momen di mana kita merasa seperti terhimpit oleh realitas yang tak terduga."

Badu memasang wajah bingung yang jelas dibuat-buat. "Kekacauan? Keteraturan? Oh, ya, ya, aku mulai paham... paham bahwa lukisan ini kayak hasil percobaan sains yang gagal."

Semua tertawa kecuali Kobar. Ia merasa semakin kesal. "Kalian ini memang tidak mengerti seni modern! Ekspresionisme adalah kebebasan mutlak! Tidak ada aturan yang mengikat, tidak ada batasan yang mengurung imajinasi! Ini adalah perlawanan terhadap segala norma yang mencoba mengekang ekspresi artistik!"

Rijal mencoba menenangkan situasi dengan senyum kecilnya. "Kobar, aku mengerti kamu ingin bebas, dan aku hargai itu. Tapi bahkan dalam kebebasan, biasanya ada sedikit kendali. Kalau semua meledak begitu saja, tanpa arah, penonton bisa merasa tersesat."

Kobar terdiam. Ia tahu Rijal punya maksud baik, meskipun kritiknya menyakitkan. "Mungkin kalian benar. Mungkin aku terlalu bersemangat. Tapi aku hanya ingin menangkap intensitas perasaanku, luapan emosiku. Aku ingin penonton merasa seperti berada di pusaran badai."

Kahar tersenyum, lalu berkata lembut, "Dan itu bagus, Kobar. Tapi mungkin, kali ini kamu bisa mengarahkan badai itu ke arah tertentu. Biar kita nggak cuma terhempas, tapi juga bisa merasakan pesan di baliknya."

Badu, dengan gaya santainya, menambahkan, "Ya, bro, badai oke, asal jangan bikin kita tenggelam semua di warna-warna yang nggak jelas ini."

Kobar tersenyum kecil, akhirnya bisa menerima kritikan mereka. "Oke, oke. Aku akan coba lebih mengarahkan emosi-emosi ini di karya berikutnya. Tapi tetap, aku nggak mau kehilangan kebebasanku."

Rijal mengangguk setuju. "Dan itu yang penting. Kamu bisa bebas, tapi tetap ada cara untuk membuat kebebasan itu punya makna. Biar kita semua bisa merasakannya dengan lebih dalam."

Kobar menatap kanvasnya sekali lagi, dan meskipun ia masih merasa bangga dengan luapan emosi yang telah ia tuangkan, ia mulai melihat bahwa mungkin ada ruang untuk sedikit lebih banyak kontrol di dalam kekacauan itu.

Dan dengan begitu, Kobar berjanji pada dirinya sendiri bahwa di karya berikutnya, ia akan menciptakan badai emosi yang lebih terarah---bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk para penontonnya, dan tentu saja, untuk menghindari komentar sarkastis dari Badu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun