Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wakil Rakyat Makin Makmur

22 Oktober 2024   03:11 Diperbarui: 22 Oktober 2024   03:37 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana di warung kopi Pak Surya pagi itu ramai. Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal duduk santai di meja langganan mereka, memandangi televisi yang menayangkan berita tentang wakil rakyat. Bukan soal kebijakan yang dibahas, melainkan soal rumah baru salah satu wakil rakyat yang megah bak istana. Para sahabat ini tak ketinggalan merespons dengan cara mereka yang khas---parodi penuh sindiran.

Kobar, si pengamat berita amatir, membuka pembicaraan. "Eh, lu lihat nggak itu rumah si wakil rakyat yang katanya baru? Gue kira itu hotel bintang lima!"

Kahar yang selalu optimis, menambahkan, "Iya, gila sih. Kolam renangnya gede banget! Padahal dia baru beberapa tahun di dewan, tapi hidupnya udah kayak sultan. Itu baru makmur namanya."

Badu, yang terkenal sarkastis, langsung tertawa. "Wakil rakyat makin makmur, rakyat makin mak...lum. Paling cuma bisa ngelus dada sambil nonton berita kayak kita ini."

Rijal, dengan gayanya yang lebih serius tapi penuh sindiran, menanggapi. "Mungkin jadi wakil rakyat sekarang bukan cuma soal memikirkan rakyat, tapi juga memikirkan upgrade rumah dan mobil. Kayaknya, selain rapat di gedung DPR, mereka juga rapat soal renovasi rumah pribadi."

Kobar menyambung, "Gue curiga, mungkin di dalam sidang mereka ada pembahasan khusus soal properti. Pas rapat, mereka saling nanya, 'Bro, udah beli tanah di mana? Apartemen baru lo udah kelar belum?'"

Kahar langsung ikut menimpali. "Dan jangan lupa, kursi dewan mungkin sekarang dilengkapi dengan fitur pijat otomatis. Biar kalau lagi rapat, sambil merem pun mereka tetap nyaman."

Badu yang tidak pernah absen dengan komentarnya yang pedas berkata, "Gue denger ada juga yang rapat sambil browsing katalog mobil mewah. Nanti selesai rapat, langsung test drive!"

Rijal mencoba mengangkat sisi serius di balik semua canda mereka. "Tapi ini kan jadi masalah besar. Ketika wakil rakyat hidup makin makmur, rakyat justru makin sulit. Harga kebutuhan pokok naik, fasilitas publik berkurang, tapi gaya hidup wakil kita malah tambah mewah."

Kobar mengangguk setuju. "Betul. Seharusnya mereka kan mewakili rakyat, bukan mewakili keinginan pribadi buat jadi kaya raya. Tapi kok kayaknya sekarang malah kebalik, ya?"

Kahar mengangguk sambil menghela napas. "Mungkin buat mereka, jadi wakil rakyat itu cuma batu loncatan buat jadi sultan. Bukan jadi wakil buat menyejahterakan rakyat, tapi buat menyejahterakan diri sendiri."

Badu tidak bisa menahan tawanya. "Mungkin di masa depan, syarat buat jadi wakil rakyat harus punya 'rekening minimal satu triliun'. Biar yang miskin nggak usah mimpi masuk DPR!"

Rijal pun menambahkan dengan nada serius yang tetap bernada satir. "Jangan lupa, nanti setiap wakil rakyat bakal dikasih kartu VIP buat masuk restoran mewah dan diskon khusus buat beli rumah elite. Karena kan, siapa tahu, 'rumah sederhana' mereka nggak cukup buat menampung aspirasi rakyat."

Kobar tertawa kecil, tapi ada keprihatinan di matanya. "Gue cuma mikir, kapan ya kita punya wakil rakyat yang benar-benar mikirin rakyat? Yang beneran kerja buat mereka yang susah, bukan malah sibuk nambah kekayaan."

Kahar menjawab dengan nada optimis khasnya, meski kali ini diselipi sedikit sinisme. "Mungkin suatu hari nanti, Bor. Tapi kayaknya kita harus siap-siap dulu. Siapa tahu, dalam beberapa tahun, berita bakal bilang: 'Wakil rakyat kini makin makmur, rakyat makin mak...bur.'"

Badu kembali mengakhiri dengan candaannya yang pedas, tapi penuh makna. "Dan pada akhirnya, mungkin kita cuma bisa bersorak, 'Selamat kepada wakil rakyat kita yang sukses jadi milyuner, semoga nggak lupa kalau mereka masih punya rakyat buat diwakili!'"

Rijal mengakhiri diskusi dengan catatan serius. "Intinya, kita harus tetap kritis. Jangan sampai kita terbawa suasana 'makmur' yang hanya dinikmati oleh mereka. Rakyat juga harus sadar, bukan cuma menonton, tapi juga mengawasi dan menuntut. Karena kalau bukan kita yang kritis, siapa lagi?"

Sambil menyesap kopi terakhir mereka, keempat sahabat itu tertawa, tapi dengan perasaan yang bercampur antara canda dan kecewa. Mereka tahu, di tengah kemakmuran yang ditampilkan oleh wakil rakyat, ada kenyataan pahit yang dirasakan oleh rakyat sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun