Rijal. Kali ini, topiknya jauh lebih "menarik" dari biasanya: bagi-bagi kursi pimpinan partai. Mereka duduk melingkar, menyruput kopi hitam sembari tertawa getir menyoroti isu yang seolah tak pernah mati.
Warung kopi di sudut gang sempit kembali menjadi saksi bisu perbincangan panas Kobar, Kahar, Badu, danKobar, si aktivis garis keras, membuka percakapan dengan nada sinis. "Hei, kalian dengar nggak kabar terakhir? Katanya kursi-kursi penting udah dibagi buat para bos partai. Pembagian kursi kayak pembagian kue ulang tahun!"
Badu langsung tertawa keras sampai tersedak gorengan di tangannya. "Hahaha! Kalau kue ulang tahun itu sih, Bor, paling kita cuma kebagian remah-remahnya doang. Yang gede-gede diambil duluan sama mereka yang duduk di meja VIP."
Kahar, si pengamat politik amatir, menyesap kopinya dengan tenang sebelum ikut menanggapi. "Gue nggak kaget, sih. Tiap kali selesai pemilu, isu yang selalu muncul pertama kali ya ini, bagi-bagi kursi. Ini kayak ritual wajib, tanpa kursi, nggak ada kepentingan yang jalan."
Rijal, yang biasanya tenang dan mencoba berpikiran positif, kali ini mengernyitkan dahi. "Tapi kursi itu kan harusnya buat mereka yang punya kemampuan, yang benar-benar bisa mimpin, bukan cuma buat dibagi-bagi kayak hadiah."
Kobar tertawa sumbang sambil melayangkan tangan ke udara. "Ah, Rijal, Rijal. Kamu terlalu naif. Di politik, yang penting bukan kemampuan, tapi seberapa besar kontribusi ke partai. Ini bukan soal kerja keras atau prestasi, tapi soal 'kamu dapet berapa suara buat kita?'"
Badu mengangguk cepat. "Iya, iya! Lihat aja, yang dapat kursi biasanya bukan yang paling ahli, tapi yang paling rajin kumpulin suara, yang paling setia sama pimpinan partai. Nggak peduli dia bisa kerja atau enggak, yang penting dia udah bantu bawa kursi buat partai!"
Kahar tertawa kecil. "Dan yang lebih lucu lagi, kadang orang-orang yang dapet kursi itu baru kali pertama duduk di jabatan penting. Begitu disuruh kerja, mereka bingung. Tapi nggak masalah, ada staf-staf ahli yang bisa diandalkan buat kerja, sementara mereka duduk manis dan belajar sambil jalan."
Rijal terlihat semakin gusar. "Jadi intinya, kursi itu cuma soal kekuasaan ya? Nggak ada hubungannya dengan kompetensi atau kepentingan rakyat?"
Kobar menyeringai. "Yah, kalau buat sebagian orang yang ada di atas sana, kursi itu ya soal gengsi dan power. Semakin banyak kursi yang mereka punya, semakin besar suara mereka di lingkaran elite. Soal rakyat? Itu nanti, kalau sempat."
Badu, yang tampak mulai kehabisan gorengan, mengangguk setuju. "Betul, Bor. Buat mereka, kursi adalah alat untuk mempertahankan posisi dan kekuasaan. Rakyat cuma jadi embel-embel di pidato. Bagi-bagi kursi ini kayak game buat mereka. Yang kalah ya gigit jari, yang menang dapat jatah."
Kahar mengangkat alis. "Dan yang paling seru, tiap kali ada bagi-bagi kursi, dramanya nggak pernah absen. Ada yang ngambek karena jatahnya kurang, ada yang merasa dikhianati karena nggak dapat posisi penting, dan ada juga yang tiba-tiba keluar dari partai karena merasa 'tidak dihargai.'"
Kobar terkekeh. "Benar-benar mirip drama sinetron, ya? Bedanya, sinetron ini tayangnya di gedung-gedung mewah, di balik pintu tertutup. Kita, rakyat jelata, cuma bisa nonton dari luar, sambil ngira-ngira siapa yang bakal dapet peran utama."
Badu, sambil mengangkat cangkir kopinya, berkata dengan suara keras. "Dan jangan lupa, Bor, ada juga yang tiba-tiba pindah partai karena nggak kebagian kursi di partai lama! Ibarat pindah sekolah karena nggak dapet jabatan ketua OSIS, hahaha!"
Rijal, yang masih terlihat berusaha mencerna situasi, bertanya dengan nada penasaran. "Jadi, gimana dengan janji-janji mereka? Mereka kan selalu bilang akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Apa itu cuma omong kosong belaka?"
Kahar menepuk pundak Rijal dengan senyuman pahit. "Itu bukan omong kosong, Rijal. Mereka memang memperjuangkan kepentingan rakyat---rakyat mereka sendiri. Rakyat yang duduk di meja-meja rapat, rakyat yang punya kepentingan bisnis, rakyat yang ada di balik layar."
Kobar menghela napas panjang. "Iya, rakyat yang mereka maksud bukan kita yang duduk di warung kopi sambil ngeluh soal harga sembako. Rakyat mereka itu orang-orang yang punya kepentingan besar di balik pembagian kursi ini. Rakyat kita? Ya, kita cuma penonton."
Badu, yang sepertinya merasa percakapan mulai terlalu serius, mencoba mengangkat suasana dengan candaan. "Kalau kita mau dapat kursi, gimana? Mungkin kita harus daftar jadi kader partai dulu, mulai ikut kampanye, bawa-bawa spanduk, nanti kalau beruntung bisa dapat kursi juga, hahaha!"
Kahar tertawa kecil, lalu menjawab, "Iya, kursi plastik di pojok ruangan mungkin! Kalau mau kursi empuk, harus punya modal besar dan hubungan erat dengan elite."
Kobar tertawa getir. "Benar juga. Kursi buat kita paling cuma kursi lipat di acara-acara partai. Sementara mereka yang udah duduk di atas, bisa santai di kursi empuk sambil menikmati hasil pembagian yang adil versi mereka."
Rijal menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Jadi begini, ya? Kursi-kursi yang dibagi itu sebenarnya bukan soal siapa yang layak, tapi soal siapa yang paling menguntungkan. Dan kita, rakyat, cuma jadi penonton setia."
Kahar mengangkat cangkir kopinya, mengajak semua teman-temannya bersulang. "Ya, begitulah politik, Rijal. Yang penting kita tetap kritis, tetap sadar, dan nggak termakan drama. Biar mereka bagi-bagi kursi, kita di sini cukup bagi-bagi cerita."
Mereka semua tertawa, menyesap kopi pahit di tengah canda yang getir. Di luar sana, kursi-kursi terus dibagi, sementara mereka hanya bisa duduk di kursi kayu warung kopi, menyaksikan sandiwara besar itu dari kejauhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H