Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kabinet Rasa Kue Lapis

20 Oktober 2024   20:45 Diperbarui: 20 Oktober 2024   20:45 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu, di warung kopi langganan mereka, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal kembali berkumpul. Di sudut meja yang lengket oleh tumpahan kopi, mereka mulai membahas kabar hangat tentang pengumuman kabinet presiden baru. Berita tentang nama-nama menteri yang terpilih sudah beredar seperti gosip di kampung, dan tentu saja, keempat sahabat ini punya banyak hal untuk dibicarakan.

Kobar, si aktivis yang hobinya teriak-teriak di depan gedung pemerintahan, membuka percakapan. "Gila ya, kabinet kali ini kayak kue lapis! Banyak warnanya, tapi rasanya itu-itu aja."

Kahar, si pengamat politik dadakan, mengangguk bijak sambil memegang cangkir kopinya. "Iya, Kobar. Kabinet rasa kue lapis itu memang pas banget. Dari luar kelihatan warna-warni, seolah-olah mau mencerminkan keragaman. Tapi kalau dilihat lebih dekat, yang penting adalah siapa yang mengiris dan membagikannya."

Rijal, yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, mengangkat wajahnya dan bertanya polos, "Tapi bukannya bagus kalau kabinet itu isinya dari berbagai kalangan? Ada mantan pengusaha, akademisi, politisi senior, bahkan ada yang dulunya selebgram."

Badu, yang sedari tadi sibuk mengunyah gorengan, mendengus sambil tertawa. "Selebgram?! Apa kabinet ini mau jadi acara variety show? Mungkin mereka mau bikin konten 'Behind the Scenes Kabinet' di Instagram!"

Kobar tertawa terbahak-bahak. "Kebijakan diunggah ke TikTok! 'Lima Langkah Mudah Reformasi Ekonomi' dalam satu menit video dance."

Kahar tersenyum tipis, tapi nada suaranya serius. "Bukan soal dari mana mereka berasal, tapi soal kompetensi. Beberapa dari mereka ini nggak punya pengalaman sama sekali di bidangnya. Menteri Kesehatan jadi dari lulusan jurusan akuntansi, Menteri Pendidikan dulunya bos perusahaan rental mobil. Kita kayak lagi nonton audisi di acara bakat, siapa yang paling meyakinkan saat pidato, dapat posisi."

Badu menepuk meja, mencoba bergaya bak komentator politik di TV. "Benar! Dan juri utama audisinya adalah... presiden kita! Yang katanya bikin pilihan berdasarkan 'meritokrasi,' tapi kenyataannya? Liat aja siapa yang paling dekat sama kekuasaan."

Rijal terlihat ragu. "Tapi kan mungkin mereka memang punya kemampuan lain yang kita nggak tau. Presiden pasti punya pertimbangan khusus."

Kobar menggelengkan kepala sambil menyesap kopinya. "Pertimbangan khusus? Ya, khusus buat mereka yang punya modal politik dan ekonomi besar, Rijal! Orang-orang yang nyumbang kampanye atau yang dulu pas pilpres teriak paling kenceng dukung dia, sekarang dibayar lunas dengan jabatan."

Badu menyahut sambil mengangkat tangannya. "Lho, jangan salah! Menteri-menteri ini kayak puzzle. Mereka pasang di posisi bukan buat menjalankan tugas negara, tapi buat jaga-jaga agar nggak ada yang ngeributin kue kekuasaan. Jadi semua dapat potongan, semua tenang, rakyat yang kebingungan."

Kahar tersenyum sinis. "Memang benar. Kalau kabinetnya kayak gini, setiap kali kita lihat konferensi pers, rasanya seperti lihat manajer tim sepak bola yang punya pemain-pemain mahal, tapi nggak tahu cara bikin timnya menang. Banyak yang berpose, tapi kurang kerja nyata."

Rijal masih berusaha berpikir positif. "Tapi ini kan baru diumumin, kita belum lihat mereka bekerja. Siapa tahu, nanti justru ada gebrakan."

Kobar, yang sudah mulai habis kesabarannya dengan optimisme Rijal, memukul meja perlahan. "Gebrakan apa? Gebrakan janji yang sama dari presiden-presiden sebelumnya? Mereka bilang mau bersih-bersih korupsi, tapi kabinetnya isinya orang-orang yang dulunya terlibat skandal?"

Badu ikut mempertegas. "Iya, Rijal, gebrakan di sini lebih mirip lemparan batu ke danau. Ada riaknya sebentar, tapi terus hilang tenggelam."

Kahar menyesap kopi terakhirnya dan meletakkan cangkirnya dengan perlahan. "Jadi, yang kita tonton sekarang ini bukan sekedar pengumuman kabinet. Ini lebih mirip drama perebutan kue. Semuanya sudah diatur, di belakang layar, jauh sebelum nama-nama itu diumumkan."

Kobar tersenyum sinis, menatap teman-temannya. "Jadi ya... Selamat menikmati kabinet rasa kue lapis. Luarnya kelihatan beda, dalamnya sama aja. Kita cuma bisa berharap, jangan sampai yang kita makan nanti cuma lapisan plastiknya."

Badu menghabiskan gorengan terakhirnya dan berkata dengan suara berat. "Selama kopinya masih pahit, kita tahu kalau manisnya cuma ada di mulut mereka."

Dan mereka pun tertawa lagi, meskipun kali ini tertawa yang lebih getir, lebih pahit dari kopi yang mereka minum. Di luar warung, berita kabinet terus berseliweran, tapi bagi mereka, yang penting adalah gorengan masih ada dan kopi masih bisa diseruput.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun