Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kabinet Rasa Kue Lapis

20 Oktober 2024   20:45 Diperbarui: 20 Oktober 2024   20:45 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Badu menyahut sambil mengangkat tangannya. "Lho, jangan salah! Menteri-menteri ini kayak puzzle. Mereka pasang di posisi bukan buat menjalankan tugas negara, tapi buat jaga-jaga agar nggak ada yang ngeributin kue kekuasaan. Jadi semua dapat potongan, semua tenang, rakyat yang kebingungan."

Kahar tersenyum sinis. "Memang benar. Kalau kabinetnya kayak gini, setiap kali kita lihat konferensi pers, rasanya seperti lihat manajer tim sepak bola yang punya pemain-pemain mahal, tapi nggak tahu cara bikin timnya menang. Banyak yang berpose, tapi kurang kerja nyata."

Rijal masih berusaha berpikir positif. "Tapi ini kan baru diumumin, kita belum lihat mereka bekerja. Siapa tahu, nanti justru ada gebrakan."

Kobar, yang sudah mulai habis kesabarannya dengan optimisme Rijal, memukul meja perlahan. "Gebrakan apa? Gebrakan janji yang sama dari presiden-presiden sebelumnya? Mereka bilang mau bersih-bersih korupsi, tapi kabinetnya isinya orang-orang yang dulunya terlibat skandal?"

Badu ikut mempertegas. "Iya, Rijal, gebrakan di sini lebih mirip lemparan batu ke danau. Ada riaknya sebentar, tapi terus hilang tenggelam."

Kahar menyesap kopi terakhirnya dan meletakkan cangkirnya dengan perlahan. "Jadi, yang kita tonton sekarang ini bukan sekedar pengumuman kabinet. Ini lebih mirip drama perebutan kue. Semuanya sudah diatur, di belakang layar, jauh sebelum nama-nama itu diumumkan."

Kobar tersenyum sinis, menatap teman-temannya. "Jadi ya... Selamat menikmati kabinet rasa kue lapis. Luarnya kelihatan beda, dalamnya sama aja. Kita cuma bisa berharap, jangan sampai yang kita makan nanti cuma lapisan plastiknya."

Badu menghabiskan gorengan terakhirnya dan berkata dengan suara berat. "Selama kopinya masih pahit, kita tahu kalau manisnya cuma ada di mulut mereka."

Dan mereka pun tertawa lagi, meskipun kali ini tertawa yang lebih getir, lebih pahit dari kopi yang mereka minum. Di luar warung, berita kabinet terus berseliweran, tapi bagi mereka, yang penting adalah gorengan masih ada dan kopi masih bisa diseruput.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun