Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjaga Amarah di Antara Tawa

20 Oktober 2024   14:35 Diperbarui: 20 Oktober 2024   14:39 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa yang tenang, di tengah hutan jati dan sawah hijau, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal berkumpul di warung kopi pinggir jalan. Hari itu, mereka sedang membahas topik penting: bagaimana cara menjaga amarah di tengah situasi yang serba bikin geram. Kobar, yang dikenal bijaksana, bersikap serius.

"Teman-teman," kata Kobar, sambil menyeruput kopi hitamnya, "kita perlu membahas cara menjaga amarah. Lihat saja, banyak orang yang mudah tersulut emosi sekarang ini. Mulai dari pertengkaran di media sosial hingga adu mulut di jalan raya."

Kahar, si penggoda, menimpali, "Betul, Kobar! Sepertinya amarah itu seperti harga diri kita: naik-turun tanpa alasan yang jelas! Bahkan bisa lebih mudah memicu emosi daripada memicu tawa. Lihat saja aku---setiap kali melihat ketidakadilan, amarahku langsung membara!"

Badu yang selalu optimis berkomentar, "Cobalah untuk berpikir positif! Mungkin kita bisa menggunakan amarah itu untuk hal yang lebih produktif, seperti berolahraga. Lihat, aku baru saja memecahkan rekor lari keliling desa sambil berteriak 'ayo, jangan marah!'"

Rijal, yang selalu mendengarkan, angkat bicara, "Tapi, bagaimana kita bisa mengendalikan amarah kita saat hal-hal kecil membuat kita sebal? Seperti saat kamu, Kahar, memutar lagu favoritmu dengan volume maksimal di tengah malam?"

Kahar dengan cepat menjawab, "Itu bukan salahku! Itu hanya tanda bahwa musikku terlalu bagus untuk didengar dengan pelan! Lagipula, saat marah, kita harus memilih untuk tersenyum daripada merusak malam orang lain."

Kobar mengangguk setuju. "Nah, itu dia! Salah satu cara untuk menjaga amarah adalah dengan berusaha menemukan humor dalam situasi yang membuat kita marah. Kita harus bisa menertawakan diri sendiri!"

Badu menimpali, "Seperti saat kita berdebat tentang siapa yang lebih baik dalam memasak? Padahal semua tahu, masakan kita sama-sama tidak layak jual! Aku ingat, waktu itu, kita semua sepakat: lebih baik makan nasi bungkus daripada merusak persahabatan karena urusan dapur!"

Semua tertawa, dan Rijal menambahkan, "Atau saat Kahar mencoba mengajariku cara menari, dan kita malah menari sambil tertawa, meskipun kaki kita seperti ditarik oleh magnet!"

"Lalu, apa yang harus kita lakukan jika marah pada seseorang?" tanya Kobar.

Kahar menjawab dengan cepat, "Jangan langsung menghujat! Cobalah untuk memberi mereka waktu dan ruang, atau mungkin kirimkan mereka meme lucu. Karena tertawa itu menular!"

"Jadi, kita harus merayakan momen-momen kecil, bukan malah tersulut emosi? Ini ide yang menarik!" Badu menambahkan.

Rijal pun bersemangat, "Benar! Seperti saat kita kalah dalam permainan catur dan malah merayakannya dengan membuat makanan bersama. Lebih baik memasak bersama daripada berdebat!"

Kobar tersenyum. "Persis! Menjaga amarah itu sama dengan menjaga hati kita agar tetap ringan. Kita harus bisa mengambil napas dalam-dalam dan berpikir positif. Karena jika kita terus marah, kita hanya akan menghabiskan energi kita untuk hal yang tidak berguna."

Kahar, yang suka mengolok, berkata, "Kalau begitu, sepertinya kita harus menulis buku 'Tawa di Tengah Amarah'. Dengan cara ini, kita bisa menyebarkan pesan positif sambil menghibur banyak orang!"

Badu melontarkan ide gila, "Atau kita bisa mengadakan festival tertawa! Di mana setiap orang diharuskan untuk datang dengan lelucon paling lucu, dan yang terbaik bisa mendapatkan hadiah: satu kilo cabai! Siapa yang bisa marah setelah itu?"

Semua tertawa terbahak-bahak membayangkan situasi tersebut. Mereka sepakat bahwa menjaga amarah tidak hanya tentang menahan diri, tetapi juga tentang menciptakan momen-momen lucu yang membuat hidup lebih berwarna.

Saat malam tiba, mereka menyelesaikan pertemuan dengan membagikan cerita lucu dan saling mengingatkan untuk tidak membiarkan amarah menguasai hidup mereka. Dengan begitu, mereka pulang ke rumah dengan hati ringan dan senyuman lebar, siap menghadapi hari baru dengan tawa.

Di akhir hari, Kobar menatap langit berbintang dan berbisik, "Ternyata, menjaga amarah bisa seindah ini---penuh tawa dan persahabatan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun