Kahar menjawab dengan cepat, "Jangan langsung menghujat! Cobalah untuk memberi mereka waktu dan ruang, atau mungkin kirimkan mereka meme lucu. Karena tertawa itu menular!"
"Jadi, kita harus merayakan momen-momen kecil, bukan malah tersulut emosi? Ini ide yang menarik!" Badu menambahkan.
Rijal pun bersemangat, "Benar! Seperti saat kita kalah dalam permainan catur dan malah merayakannya dengan membuat makanan bersama. Lebih baik memasak bersama daripada berdebat!"
Kobar tersenyum. "Persis! Menjaga amarah itu sama dengan menjaga hati kita agar tetap ringan. Kita harus bisa mengambil napas dalam-dalam dan berpikir positif. Karena jika kita terus marah, kita hanya akan menghabiskan energi kita untuk hal yang tidak berguna."
Kahar, yang suka mengolok, berkata, "Kalau begitu, sepertinya kita harus menulis buku 'Tawa di Tengah Amarah'. Dengan cara ini, kita bisa menyebarkan pesan positif sambil menghibur banyak orang!"
Badu melontarkan ide gila, "Atau kita bisa mengadakan festival tertawa! Di mana setiap orang diharuskan untuk datang dengan lelucon paling lucu, dan yang terbaik bisa mendapatkan hadiah: satu kilo cabai! Siapa yang bisa marah setelah itu?"
Semua tertawa terbahak-bahak membayangkan situasi tersebut. Mereka sepakat bahwa menjaga amarah tidak hanya tentang menahan diri, tetapi juga tentang menciptakan momen-momen lucu yang membuat hidup lebih berwarna.
Saat malam tiba, mereka menyelesaikan pertemuan dengan membagikan cerita lucu dan saling mengingatkan untuk tidak membiarkan amarah menguasai hidup mereka. Dengan begitu, mereka pulang ke rumah dengan hati ringan dan senyuman lebar, siap menghadapi hari baru dengan tawa.
Di akhir hari, Kobar menatap langit berbintang dan berbisik, "Ternyata, menjaga amarah bisa seindah ini---penuh tawa dan persahabatan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H