Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Biji Kebijaksanaan Kobar

18 Oktober 2024   15:49 Diperbarui: 18 Oktober 2024   15:53 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua langsung tertawa, karena mereka tahu Badu lebih sering menghindar dari masalah, bukan karena bijak, tapi karena malas berurusan.

Rijal kembali menyusun kata-kata bijaknya. "Kobar, aku ngerti kamu punya semangat memperjuangkan keadilan. Tapi kadang, orang-orang lebih mudah menerima pesan kalau disampaikan dengan tenang. Contohnya, bayangkan kalau kamu bilang ke Bu Jum dengan lembut, 'Bu, kayaknya ada kekurangan di kembalian ini.' Mungkin reaksi warga bakal beda. Mereka nggak akan lihat kamu marah-marah, tapi lihat kamu sebagai orang yang memperjuangkan hak dengan cara yang baik."

Kobar terdiam, merasa ucapan Rijal masuk akal. "Mungkin benar. Tapi, gimana caranya bisa tenang kalau di kepala udah banyak masalah? Aku jujur aja, waktu itu memang lagi pusing."

Kahar, yang biasanya jarang bicara panjang, akhirnya memberi nasihat. "Kob, kita semua punya masalah. Tapi kadang, orang yang kita hadapi juga punya masalah yang kita nggak tahu. Bayangkan Bu Jum lagi capek atau pusing juga, terus kamu datang marah-marah. Bukan cuma masalahmu yang makin besar, masalah dia juga nambah."

Badu, yang mulai merasa jenuh dengan keseriusan ini, menyela dengan gaya khasnya, "Udah, Kob. Kalau kamu mau marah lagi di warung, kasih aku kode dulu. Aku nanti pura-pura ikut marah, biar drama kita makin seru. Siapa tahu jadi viral, dapat endorsement kopi."

Semua tertawa lagi, tapi kali ini Kobar tidak ikut tertawa. Dia tampak berpikir dalam-dalam. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Kalian benar. Mungkin ini pelajaran buat aku. Ternyata jadi bijak itu nggak semudah yang aku kira. Aku selalu merasa benar, tapi lupa bahwa caraku itu yang salah."

Rijal tersenyum, puas melihat Kobar mulai merenung. "Menjadi bijak itu memang bukan soal selalu benar atau selalu menang. Kadang, bijak berarti mengalah, atau bersabar di saat emosi menguasai kita. Orang-orang akan lebih menghargai kita karena sikap kita yang tenang, bukan karena seberapa keras kita berteriak."

Kobar mengangguk, kini lebih tenang. "Baiklah, aku janji mulai sekarang aku akan lebih hati-hati bersikap. Nggak cuma soal marah-marah di warung, tapi dalam segala hal."

Kahar mengangkat cangkir kopinya, "Nah, itu baru namanya bijak. Hidup itu nggak harus selalu menang debat. Kadang, kita menang ketika kita bisa mengendalikan diri."

Badu, tentu tak mau ketinggalan, menutup percakapan dengan candaannya. "Tapi ingat, Kob. Kalau kamu udah jadi orang bijak, jangan lupa kasih tahu aku kalau ada promo diskon kopi. Biar kita bisa bijak menghemat juga."

Semua tertawa lagi. Malam itu, di pos ronda yang biasanya penuh canda dan tawa, mereka semua merenung bahwa bijak bersikap bukan sekadar soal pengetahuan atau niat baik, tapi soal bagaimana kita menghadapi setiap situasi dengan kepala dingin dan hati yang terbuka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun