Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Biji Kebijaksanaan Kobar

18 Oktober 2024   15:49 Diperbarui: 18 Oktober 2024   15:53 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu sore, di pos ronda kampung, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal berkumpul seperti biasa. Kali ini, mereka membahas topik serius yang belakangan menjadi pembicaraan banyak orang: *bijak bersikap*.

Semuanya berawal ketika Kobar menjadi sorotan warga. Ia baru saja terlibat dalam insiden kecil di warung Bu Jum. Kabar tersebar bahwa Kobar marah besar hanya karena uang kembalian dari beli kopi kurang seribu rupiah.

Kahar, yang pertama membuka percakapan, memulai dengan tawa kecil, "Eh, Kob, gimana rasanya jadi seleb kampung? Seminggu ini warga sibuk ngomongin aksi heroik kamu di warung."

Kobar mengernyit. "Ah, itu cuma salah paham! Masa orang nggak boleh memperjuangkan haknya? Seribu rupiah itu juga duit!"

Badu tertawa keras mendengar pembelaan Kobar. "Tapi, Kob, kamu teriak-teriak di depan semua orang cuma gara-gara seribu rupiah. Bukannya malah jadi bahan tertawaan orang satu kampung?"

Kobar tampak kesal, tapi dia coba menahan diri. "Lihat ya, ini soal prinsip! Kalau Bu Jum bisa salah ngembaliin ke aku, bisa aja dia salah ke orang lain juga. Jadi, aku hanya ingin mengingatkan. Bukan soal nominalnya!"

Rijal, yang dikenal bijak, akhirnya bersuara. "Kob, kamu benar bahwa memperjuangkan hak itu penting. Tapi cara kamu menyampaikan itu yang mungkin kurang tepat. Orang nggak akan lihat niat baikmu kalau cara menyampaikannya kayak mau perang."

Kobar mendesah, "Aku tahu, tapi aku nggak bisa tahan. Waktu itu, panasnya luar biasa, kepalaku udah pening duluan gara-gara banyak masalah. Eh, malah ketemu masalah kecil yang bikin makin emosi."

Kahar menepuk pundak Kobar sambil tersenyum, "Nah, itulah kuncinya, Kob. Kadang, bijak bersikap itu justru diuji di saat-saat kita lagi emosi. Bukan soal kita bisa menang argumen atau nggak, tapi gimana kita bisa jaga diri tetap tenang di tengah masalah."

Badu menimpali, "Kamu harus belajar dari aku, Kob. Lihat aku, nggak pernah ada masalah besar sama warga. Aku selalu tenang, senyum aja. Kalau ada yang bikin masalah, ya udah, aku biarin aja. Kan katanya, 'yang sabar disayang Tuhan'."

Semua langsung tertawa, karena mereka tahu Badu lebih sering menghindar dari masalah, bukan karena bijak, tapi karena malas berurusan.

Rijal kembali menyusun kata-kata bijaknya. "Kobar, aku ngerti kamu punya semangat memperjuangkan keadilan. Tapi kadang, orang-orang lebih mudah menerima pesan kalau disampaikan dengan tenang. Contohnya, bayangkan kalau kamu bilang ke Bu Jum dengan lembut, 'Bu, kayaknya ada kekurangan di kembalian ini.' Mungkin reaksi warga bakal beda. Mereka nggak akan lihat kamu marah-marah, tapi lihat kamu sebagai orang yang memperjuangkan hak dengan cara yang baik."

Kobar terdiam, merasa ucapan Rijal masuk akal. "Mungkin benar. Tapi, gimana caranya bisa tenang kalau di kepala udah banyak masalah? Aku jujur aja, waktu itu memang lagi pusing."

Kahar, yang biasanya jarang bicara panjang, akhirnya memberi nasihat. "Kob, kita semua punya masalah. Tapi kadang, orang yang kita hadapi juga punya masalah yang kita nggak tahu. Bayangkan Bu Jum lagi capek atau pusing juga, terus kamu datang marah-marah. Bukan cuma masalahmu yang makin besar, masalah dia juga nambah."

Badu, yang mulai merasa jenuh dengan keseriusan ini, menyela dengan gaya khasnya, "Udah, Kob. Kalau kamu mau marah lagi di warung, kasih aku kode dulu. Aku nanti pura-pura ikut marah, biar drama kita makin seru. Siapa tahu jadi viral, dapat endorsement kopi."

Semua tertawa lagi, tapi kali ini Kobar tidak ikut tertawa. Dia tampak berpikir dalam-dalam. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Kalian benar. Mungkin ini pelajaran buat aku. Ternyata jadi bijak itu nggak semudah yang aku kira. Aku selalu merasa benar, tapi lupa bahwa caraku itu yang salah."

Rijal tersenyum, puas melihat Kobar mulai merenung. "Menjadi bijak itu memang bukan soal selalu benar atau selalu menang. Kadang, bijak berarti mengalah, atau bersabar di saat emosi menguasai kita. Orang-orang akan lebih menghargai kita karena sikap kita yang tenang, bukan karena seberapa keras kita berteriak."

Kobar mengangguk, kini lebih tenang. "Baiklah, aku janji mulai sekarang aku akan lebih hati-hati bersikap. Nggak cuma soal marah-marah di warung, tapi dalam segala hal."

Kahar mengangkat cangkir kopinya, "Nah, itu baru namanya bijak. Hidup itu nggak harus selalu menang debat. Kadang, kita menang ketika kita bisa mengendalikan diri."

Badu, tentu tak mau ketinggalan, menutup percakapan dengan candaannya. "Tapi ingat, Kob. Kalau kamu udah jadi orang bijak, jangan lupa kasih tahu aku kalau ada promo diskon kopi. Biar kita bisa bijak menghemat juga."

Semua tertawa lagi. Malam itu, di pos ronda yang biasanya penuh canda dan tawa, mereka semua merenung bahwa bijak bersikap bukan sekadar soal pengetahuan atau niat baik, tapi soal bagaimana kita menghadapi setiap situasi dengan kepala dingin dan hati yang terbuka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun