Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lambat Asal Selamat

18 Oktober 2024   14:48 Diperbarui: 18 Oktober 2024   14:49 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, di pos ronda kampung, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal kembali berkumpul. Seperti biasa, mereka membahas segala hal, mulai dari isu lokal sampai hal-hal sepele. Namun, malam ini ada yang berbeda: mereka sedang terjebak dalam diskusi serius tentang filosofi hidup "lambat asal selamat."

"Jadi begini, kawan-kawan," ujar Kobar yang selalu merasa paling bijak, "Kita ini sering terjebak dalam hiruk-pikuk modernitas. Semua orang berlomba, lari secepat mungkin untuk sukses. Padahal, kita bisa lambat asal selamat. Apa gunanya cepat tapi berantakan?"

Kahar yang terkenal dengan kesabarannya mengangguk setuju. "Betul, Kob. Aku setuju. Lihatlah orang-orang di jalan raya, semua ngebut kayak dikejar setan. Padahal, yang sampai duluan cuma rasa stres. Mereka nggak sadar bahwa hidup itu seperti ronda. Pelan-pelan aja, yang penting sampai."

Badu, yang biasanya cuek, malah terpingkal mendengar filosofi ronda itu. "Hahaha, kamu ini ngomongnya kayak yang hidup selalu santai, Har. Aku lihat kamu aja sering telat kalau diminta bantuin orang. Jadi memang cocoklah kamu sama filosofi 'lambat asal selamat'."

Rijal, yang selalu jadi suara kebijaksanaan di antara mereka, menggeleng-geleng sambil tersenyum. "Tapi nggak bisa juga begitu, Badu. Kalau semuanya lambat, kapan kita maju? Orang-orang kita ini suka lambat asal nggak ada yang menuntut. Kerja santai, pelayanan publik lambat, bahkan bikin jalan aja molor bertahun-tahun. Itu bukan lambat asal selamat, itu lambat asal nggak dikejar target."

Kobar cepat-cepat menyahut, "Nah, itulah masalahnya, Jal. Orang salah kaprah sama filosofi lambat ini. Seharusnya lambat itu bukan berarti malas. Lambat itu berarti kita hati-hati, penuh perhitungan, dan nggak tergesa-gesa. Misalnya, lihat saja proyek jembatan di kampung sebelah. Cepat selesai, tapi ambruk waktu hujan pertama datang. Kalau lambat asal selamat, mereka mungkin bisa buat jembatan yang awet!"

Kahar menambahkan, "Benar, aku lebih suka pekerja yang lambat tapi rapi, daripada yang cepat tapi banyak cacatnya. Kadang kesalahan besar terjadi karena terlalu cepat."

Badu, yang selalu merasa ingin jadi "lawyer" dalam setiap percakapan, mencoba menantang ide itu. "Tapi, nggak semua lambat itu baik, dong. Kadang orang lambat itu karena kebanyakan mikir atau malah malas. Lihat aja di kantor-kantor pemerintah, kita mau urus KTP aja harus nunggu lama. Itu lambat yang salah!"

Rijal, yang lebih tenang, menjawab, "Tentu, lambat yang kamu maksud itu lambat karena ketidakefisienan, Badu. Kalau semua sistem sudah baik dan orangnya kerja dengan benar, lambat asal selamat itu jadi bermakna. Tapi kalau lambat karena memang males atau nggak ada kemauan buat maju, itu beda cerita."

Kobar tersenyum lebar, merasa pendapatnya mulai diterima. "Nah, lihatlah kita di pos ronda ini. Kita jaga malam dengan tenang, lambat, dan nggak gegabah. Kalau ada maling lewat, kita nggak perlu buru-buru, cukup pantau dulu. Kalau buru-buru, malah salah tangkap atau kita kehabisan tenaga buat ngejar."

Badu, yang mulai merasakan kenaifan teori Kobar, akhirnya tertawa keras. "Hahaha, jadi maling lewat depan mata kita, kita pantau dulu, gitu? Ya kalau malingnya sudah lari jauh, baru kita bilang, 'Santai, asal selamat!'?"

Kahar tak bisa menahan tawanya mendengar candaan Badu, "Kalau terlalu lambat, malingnya malah selamat, bukan kita!"

Rijal, mencoba mengembalikan diskusi ke jalur serius, berkata, "Sebenarnya, intinya bukan soal lambat atau cepat, tapi soal bijaksana. Dalam situasi tertentu, kita harus cepat, tapi tetap hati-hati. Dalam situasi lain, kita bisa santai, tapi tetap fokus. Bukan soal kecepatan, tapi cara kita mengelola waktu."

Kobar, yang merasa pembela filosofi lambat asal selamat, akhirnya mengangguk setuju. "Baiklah, mungkin benar kata kalian. Kadang kita harus cepat, kadang lambat. Tapi tetap saja, orang sekarang kebanyakan tergesa-gesa tanpa berpikir panjang. Lihat saja bagaimana orang-orang di kampung ini rebutan bantuan sosial, padahal yang sabar bisa dapat juga. Itu namanya tergesa-gesa tapi nggak selamat."

Kahar mengangguk, "Betul. Orang-orang terlalu takut kehabisan rezeki, padahal rezeki itu datang pada waktunya. Nggak perlu ngebut-ngebut, yang penting terus berusaha."

Badu, dengan gaya khasnya yang santai tapi tajam, menimpali, "Iya, tapi kalau kita terlalu lambat, rezeki malah kabur duluan. Tetangga kita malah yang dapet. Jadi, kita harus punya keseimbangan antara lambat dan cepat. Tapi, kayaknya aku lebih pilih cepat kalau soal rezeki."

Semua tertawa mendengar logika praktis Badu. Kobar, yang tadinya ngotot soal lambat, akhirnya tersenyum dan berkata, "Ya, mungkin memang seperti itu. Filosofi lambat asal selamat bisa diterapkan dalam banyak hal, tapi ada saatnya juga kita harus cepat dan tanggap."

Rijal menutup percakapan dengan bijak, "Pada akhirnya, yang penting adalah kita tahu kapan harus lambat dan kapan harus cepat. Hidup ini bukan perlombaan, tapi juga bukan waktu untuk tidur. Kita harus terus bergerak, dengan ritme yang sesuai. Lambat asal selamat itu bagus, asal tahu kapan waktunya."

Malam itu, di bawah lampu ronda yang temaram, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal merenung. Mereka menyadari bahwa dalam hidup, ritme bukan hanya tentang lambat atau cepat, tapi tentang bijaksana mengelola waktu dan prioritas. Dan meskipun mereka masih bercanda tentang maling yang lolos karena kelambatan mereka, mereka paham bahwa dalam keseimbangan itulah hidup yang sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun