Badu, yang mulai merasakan kenaifan teori Kobar, akhirnya tertawa keras. "Hahaha, jadi maling lewat depan mata kita, kita pantau dulu, gitu? Ya kalau malingnya sudah lari jauh, baru kita bilang, 'Santai, asal selamat!'?"
Kahar tak bisa menahan tawanya mendengar candaan Badu, "Kalau terlalu lambat, malingnya malah selamat, bukan kita!"
Rijal, mencoba mengembalikan diskusi ke jalur serius, berkata, "Sebenarnya, intinya bukan soal lambat atau cepat, tapi soal bijaksana. Dalam situasi tertentu, kita harus cepat, tapi tetap hati-hati. Dalam situasi lain, kita bisa santai, tapi tetap fokus. Bukan soal kecepatan, tapi cara kita mengelola waktu."
Kobar, yang merasa pembela filosofi lambat asal selamat, akhirnya mengangguk setuju. "Baiklah, mungkin benar kata kalian. Kadang kita harus cepat, kadang lambat. Tapi tetap saja, orang sekarang kebanyakan tergesa-gesa tanpa berpikir panjang. Lihat saja bagaimana orang-orang di kampung ini rebutan bantuan sosial, padahal yang sabar bisa dapat juga. Itu namanya tergesa-gesa tapi nggak selamat."
Kahar mengangguk, "Betul. Orang-orang terlalu takut kehabisan rezeki, padahal rezeki itu datang pada waktunya. Nggak perlu ngebut-ngebut, yang penting terus berusaha."
Badu, dengan gaya khasnya yang santai tapi tajam, menimpali, "Iya, tapi kalau kita terlalu lambat, rezeki malah kabur duluan. Tetangga kita malah yang dapet. Jadi, kita harus punya keseimbangan antara lambat dan cepat. Tapi, kayaknya aku lebih pilih cepat kalau soal rezeki."
Semua tertawa mendengar logika praktis Badu. Kobar, yang tadinya ngotot soal lambat, akhirnya tersenyum dan berkata, "Ya, mungkin memang seperti itu. Filosofi lambat asal selamat bisa diterapkan dalam banyak hal, tapi ada saatnya juga kita harus cepat dan tanggap."
Rijal menutup percakapan dengan bijak, "Pada akhirnya, yang penting adalah kita tahu kapan harus lambat dan kapan harus cepat. Hidup ini bukan perlombaan, tapi juga bukan waktu untuk tidur. Kita harus terus bergerak, dengan ritme yang sesuai. Lambat asal selamat itu bagus, asal tahu kapan waktunya."
Malam itu, di bawah lampu ronda yang temaram, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal merenung. Mereka menyadari bahwa dalam hidup, ritme bukan hanya tentang lambat atau cepat, tapi tentang bijaksana mengelola waktu dan prioritas. Dan meskipun mereka masih bercanda tentang maling yang lolos karena kelambatan mereka, mereka paham bahwa dalam keseimbangan itulah hidup yang sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H