Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fitnah di Tengah Kampung

18 Oktober 2024   13:47 Diperbarui: 18 Oktober 2024   13:53 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah kampung kecil yang damai, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal terkenal sebagai empat sahabat yang sering berkumpul di pos ronda. Mereka sering membahas banyak hal: mulai dari masalah politik nasional, soal cinta yang tak sampai, hingga topik terhangat di kampung. Namun, ada satu hal yang baru saja menyebar di kampung itu, sesuatu yang membuat mereka semua geram: fitnah.

Fitnah itu melibatkan Kobar. Suatu pagi, tersiar kabar bahwa Kobar telah mengambil uang dari kas RT untuk beli motor baru. Kabar ini langsung menyebar ke seluruh penjuru kampung, dari warung kopi, pasar, hingga grup WhatsApp warga.

Malam itu, Kobar datang ke pos ronda dengan wajah kusut. Ia duduk diam, menatap kopi di tangannya tanpa berani meneguknya. Kahar, yang duduk di sebelahnya, membuka percakapan, "Kob, aku dengar kabar nggak enak nih soal kamu. Beneran, kamu ambil uang kas buat beli motor?"

Kobar mendengus keras, "Gila apa, Har? Aku bahkan nggak pernah tahu di mana uang kas itu disimpan. Uang motor aku cicil dari gaji sendiri. Tapi fitnah itu sudah terlanjur nyebar. Sekarang, semua orang kampung ngomongin aku!"

Badu, yang biasanya suka bercanda, tiba-tiba jadi serius, "Wah, berat nih, Kob. Fitnah itu kayak api, sekali menyala, susah dipadamkan. Apalagi di kampung kita, orang-orang lebih cepat percaya gosip daripada kebenaran."

Rijal, yang sejak tadi mendengarkan dengan tenang, angkat bicara, "Kamu tahu, Kob, dalam situasi seperti ini, semakin kamu klarifikasi, semakin orang-orang nggak percaya. Mereka lebih suka drama daripada kebenaran."

Kobar memukul meja keras, "Tapi, gimana aku bisa diam kalau namaku dicemarkan begitu?! Apa aku harus biarin aja orang-orang ngomong sembarangan?"

Kahar mengangguk setuju, "Iya, kamu harus lakukan sesuatu. Kalau nggak, fitnah itu akan makin besar. Tapi masalahnya, apa yang bisa kita lakukan? Orang-orang kampung kita sudah terbiasa dengan fitnah. Mereka lebih cepat menyebarkan kabar buruk daripada mendengarkan penjelasan."

Badu menyelipkan candaan di tengah situasi serius, "Mungkin kita harus bikin klarifikasi lewat TikTok, Kob. Sekarang orang lebih percaya video berdurasi satu menit daripada penjelasan panjang di depan umum."

Kobar, yang awalnya marah, kini malah tertawa kecil, "TikTok? Biar fitnahnya jadi viral, gitu?"

Rijal menepuk pundak Kobar, "Jangan terlalu serius menanggapi, Kob. Fitnah memang menyakitkan, tapi kita harus hati-hati menanggapinya. Kalau kamu terlalu reaktif, malah bisa memperkeruh suasana. Orang-orang akan berpikir, 'Oh, Kobar defensif, berarti ada benarnya nih gosipnya.'"

Kobar terdiam sejenak, merenungkan nasihat Rijal. "Jadi, maksudmu aku harus diam saja?"

Rijal tersenyum tipis, "Bukan diam. Kamu harus tunjukkan lewat tindakan bahwa fitnah itu salah. Biar waktu yang membuktikan."

Kahar menambahkan, "Setuju. Orang-orang di kampung ini mungkin lebih percaya gosip daripada fakta, tapi satu hal yang nggak bisa disangkal: perbuatan baik selalu lebih kuat daripada kabar buruk. Kalau kamu terus berbuat baik, lama-lama orang akan sadar."

Badu, yang tak bisa lama-lama serius, kembali dengan candaannya, "Tapi sambil nunggu mereka sadar, mungkin kamu bisa bawa motor barumu keliling kampung, biar mereka makin panas."

Semua tertawa, termasuk Kobar, yang mulai merasa sedikit lega. Meskipun fitnah itu berat, setidaknya ia punya sahabat yang selalu siap mendukungnya.

"Tapi serius, Kob," lanjut Badu setelah tawa mereda, "kamu harus siap mental. Fitnah itu nggak bakal hilang dalam semalam. Tapi, dengan waktu dan tindakan yang benar, orang-orang akan tahu siapa yang benar."

Kobar menarik napas dalam-dalam. "Kalian benar. Aku nggak bisa lawan gosip dengan kata-kata. Aku harus tetap tenang, biar perbuatanku yang berbicara."

Kahar mengangguk, "Itulah jalan terbaik. Jangan terpancing emosi. Fitnah bisa datang kapan saja, tapi bagaimana kita meresponsnya yang menentukan hasil akhirnya."

Rijal, dengan bijaknya, menutup percakapan, "Hidup ini memang penuh ujian, Kob. Fitnah hanya salah satunya. Kadang, yang terbaik adalah tetap berjalan lurus dan biarkan omongan orang berlalu bersama angin."

Kobar tersenyum, "Terima kasih, kawan-kawan. Aku akan ingat ini. Biar saja mereka ngomong, aku akan buktikan lewat tindakan. Toh, semua ini hanya sementara."

Malam itu, di bawah cahaya lampu ronda yang temaram, Kobar merasa lebih ringan. Meskipun fitnah itu belum hilang, setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Dan meskipun gosip terus berhembus, ia percaya, kebenaran akan menemukan jalannya. Karena seperti kata Rijal, "Biar angin membawa fitnah itu pergi."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun