Rijal menepuk pundak Kobar, "Jangan terlalu serius menanggapi, Kob. Fitnah memang menyakitkan, tapi kita harus hati-hati menanggapinya. Kalau kamu terlalu reaktif, malah bisa memperkeruh suasana. Orang-orang akan berpikir, 'Oh, Kobar defensif, berarti ada benarnya nih gosipnya.'"
Kobar terdiam sejenak, merenungkan nasihat Rijal. "Jadi, maksudmu aku harus diam saja?"
Rijal tersenyum tipis, "Bukan diam. Kamu harus tunjukkan lewat tindakan bahwa fitnah itu salah. Biar waktu yang membuktikan."
Kahar menambahkan, "Setuju. Orang-orang di kampung ini mungkin lebih percaya gosip daripada fakta, tapi satu hal yang nggak bisa disangkal: perbuatan baik selalu lebih kuat daripada kabar buruk. Kalau kamu terus berbuat baik, lama-lama orang akan sadar."
Badu, yang tak bisa lama-lama serius, kembali dengan candaannya, "Tapi sambil nunggu mereka sadar, mungkin kamu bisa bawa motor barumu keliling kampung, biar mereka makin panas."
Semua tertawa, termasuk Kobar, yang mulai merasa sedikit lega. Meskipun fitnah itu berat, setidaknya ia punya sahabat yang selalu siap mendukungnya.
"Tapi serius, Kob," lanjut Badu setelah tawa mereda, "kamu harus siap mental. Fitnah itu nggak bakal hilang dalam semalam. Tapi, dengan waktu dan tindakan yang benar, orang-orang akan tahu siapa yang benar."
Kobar menarik napas dalam-dalam. "Kalian benar. Aku nggak bisa lawan gosip dengan kata-kata. Aku harus tetap tenang, biar perbuatanku yang berbicara."
Kahar mengangguk, "Itulah jalan terbaik. Jangan terpancing emosi. Fitnah bisa datang kapan saja, tapi bagaimana kita meresponsnya yang menentukan hasil akhirnya."
Rijal, dengan bijaknya, menutup percakapan, "Hidup ini memang penuh ujian, Kob. Fitnah hanya salah satunya. Kadang, yang terbaik adalah tetap berjalan lurus dan biarkan omongan orang berlalu bersama angin."
Kobar tersenyum, "Terima kasih, kawan-kawan. Aku akan ingat ini. Biar saja mereka ngomong, aku akan buktikan lewat tindakan. Toh, semua ini hanya sementara."