Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belajar Sepanjang Pusing

18 Oktober 2024   03:37 Diperbarui: 18 Oktober 2024   08:29 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah kampung yang tenang, hiduplah empat sahabat sejati: Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Mereka sering berkumpul di pos ronda, membahas topik-topik yang berat seperti politik, ekonomi, bahkan filosofi. Malam ini, topik diskusi mereka adalah "belajar sepanjang hayat," topik yang konon sedang ramai dibicarakan di media sosial.

Kobar, yang selalu merasa dirinya paling pintar, memulai percakapan, "Kawan-kawan, aku baca artikel tadi siang tentang belajar sepanjang hayat. Ternyata, hidup itu harus terus belajar. Kita nggak boleh berhenti hanya karena sudah lulus sekolah atau kuliah."

Badu yang terkenal paling santai langsung nyeletuk, "Kobar, aku saja waktu lulus SD langsung berhenti belajar. Sampai sekarang baik-baik saja tuh. Malah hidupku tenang."

Kahar yang selalu berusaha bijak mencoba meluruskan, "Badu, belajar sepanjang hayat itu bukan berarti harus selalu sekolah atau belajar hal-hal berat. Kita bisa belajar dari pengalaman, dari orang lain, atau bahkan dari kesalahan kita sendiri."

Rijal yang jarang bicara, tapi sering memberi komentar tajam, menimpali, "Iya, Badu. Kamu mungkin nggak belajar di sekolah lagi, tapi setiap kali kamu gagal betulin motor sendiri, kamu belajar kan untuk nggak coba-coba lagi?"

Semua tertawa, kecuali Badu yang merasa tersindir. "Ya, salah sendiri kalau aku suka otodidak," jawabnya sambil merengut.

Kobar, yang selalu suka memamerkan pengetahuannya, melanjutkan, "Sebenarnya, belajar itu juga soal upgrade diri. Lihat aku, sekarang aku lagi ikut kursus online tentang manajemen waktu."

Kahar menyipitkan matanya, curiga, "Manajemen waktu? Bukannya kamu selalu datang terlambat ke sini tiap malam ronda?"

Kobar tersipu. "Itu... itu karena aku sibuk belajar hal-hal lain, jadi kadang terlambat."

Badu menahan tawa. "Belajar manajemen waktu, tapi malah waktu sendiri nggak keurus. Luar biasa sekali, Kobar."

Rijal yang sejak tadi diam, mengangguk sambil tersenyum kecil. "Kobar ini contoh nyata, belajar sepanjang hayat tapi output-nya belum kelihatan."

Kobar semakin tersudut, tapi tetap tak mau kalah. "Ya, namanya juga proses, kan? Semua butuh waktu."

Kahar, yang selalu jadi penyeimbang di antara mereka, menambahkan, "Sebenarnya, konsep belajar sepanjang hayat itu penting. Tapi kita juga harus paham, belajar itu bukan soal menambah pengetahuan tanpa henti, tapi soal bagaimana kita bisa menerapkan apa yang sudah kita pelajari dalam hidup sehari-hari."

Badu, yang dari tadi merasa tersinggung, tiba-tiba berseru, "Aku nggak peduli soal kursus atau sekolah lagi. Aku belajar dari kehidupan. Lihat aku, nggak pernah ikut kursus ini-itu, tapi masih bisa hidup bahagia."

Rijal, dengan nada datar, berkata, "Tapi Badu, kalau kamu mau belajar cara betulin motor dengan benar, hidup kamu mungkin bakal lebih gampang."

Badu mengangguk-angguk, tapi tetap dengan gaya santainya. "Ah, Rijal, kamu tahu nggak? Justru itu yang bikin hidup seru. Kalau semuanya lancar, nggak ada tantangan."

Kobar, yang mulai frustasi karena merasa ilmunya tak dihargai, tiba-tiba mendapatkan ide. "Oke, kalau begitu, bagaimana kalau kita buat tantangan belajar? Tiap minggu kita belajar hal baru, apa saja, lalu kita lihat siapa yang paling banyak pelajaran berguna."

Kahar tersenyum. "Boleh juga. Tapi, Kobar, pastikan kali ini kamu tepat waktu ya. Jangan sampai pelajarannya tentang manajemen waktu malah nggak bisa diterapkan."

Mereka semua tertawa, dan malam itu berakhir dengan rencana besar Kobar yang mungkin -- atau tidak -- akan berhasil.

Namun, di minggu berikutnya, saat waktunya mempresentasikan hasil belajarnya, Kobar terlambat lagi. Alasannya? Dia sibuk belajar manajemen waktu di kursus online yang ternyata molor. Dan begitulah, "belajar sepanjang hayat" bagi Kobar berubah menjadi "pusing sepanjang hayat" karena teori dan praktiknya tak pernah sejalan.

Di pos ronda, Kahar, Badu, dan Rijal hanya tersenyum sambil menunggu. Sebab, di kampung ini, mereka paham bahwa belajar sepanjang hayat lebih dari sekadar teori, tapi juga soal kapan harus berhenti terlalu serius.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun