Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Toleransi ala Kampung

18 Oktober 2024   02:36 Diperbarui: 18 Oktober 2024   02:58 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di kampung kecil yang damai, hiduplah empat orang sahabat: Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Mereka sering berkumpul di pos ronda, mengobrol soal berbagai hal, mulai dari harga cabai hingga masalah politik. Namun, akhir-akhir ini, topik yang paling sering muncul adalah soal toleransi beragama. Kampung mereka terkenal dengan keberagamannya, tapi belakangan suasana mulai agak panas.

Suatu malam, Kobar yang paling sering bicara sok bijak, mulai membuka diskusi, "Kawan-kawan, aku rasa toleransi itu penting. Aku ini orang yang paling toleran di kampung ini. Aku nggak pernah masalahin ibadah orang lain."

Badu langsung menimpali, "Toleran gimana? Kamu kan yang kemarin protes soal pengeras suara di masjid. Katanya terlalu keras, padahal kamu tinggal di sebelah masjid."

Kobar tersenyum kecut. "Itu kan soal volume, Badu. Nggak ada hubungannya sama toleransi. Lagian, aku kan cuma mau tidur nyenyak, bukan protes soal agamanya."

Rijal yang dari tadi hanya mendengarkan, akhirnya ikut bicara, "Toleransi bukan cuma soal suara masjid, Kobar. Kadang, kita harus bisa terima kebiasaan orang lain, meskipun nggak selalu sesuai dengan cara kita."

Kahar, yang biasanya lebih kalem, mengangguk pelan. "Benar. Ingat waktu ada perayaan agama lain di kampung sebelah? Kobar juga protes karena arak-arakan mereka bikin macet jalanan."

Kobar tampak kebingungan mencari alasan. "Eh, itu... aku cuma mikirin lalu lintas, Kahar. Lagian, orang yang mau lewat jadi susah kan? Bukan berarti aku nggak menghormati."

Badu tertawa keras. "Ah, alasan saja. Kamu ini sebenarnya pengen nyaman terus, tapi kalau nyamannya kamu yang terganggu, baru deh ngomel-ngomel."

Kahar menambahkan, "Toleransi itu bukan soal nyaman atau tidak nyaman, Kobar. Kita nggak bisa pilih-pilih kapan kita toleran. Namanya juga hidup bersama, pasti ada gesekan."

Kobar mulai merasa terpojok. "Tapi gimana dong, kalau setiap kali ada acara agama, jalanan macet, atau ada acara yang ganggu istirahat?"

Rijal yang terkenal paling tenang pun memberikan pendapatnya, "Sebenarnya, kalau kita benar-benar toleran, kita harus paham bahwa setiap orang punya hak menjalankan ibadahnya dengan cara yang mereka yakini. Selama itu nggak merugikan orang lain secara serius, kita terima saja."

Badu tiba-tiba berseri-seri. "Aku punya ide! Gimana kalau kita bikin 'Peraturan Toleransi' di kampung ini. Misalnya, nggak boleh ada ibadah yang terlalu lama, nggak boleh ada perayaan yang bikin macet, dan semua kegiatan agama harus izin ke ketua RT dulu. Gimana?"

Kahar mengernyitkan dahi. "Badu, toleransi itu nggak bisa diatur kayak begitu. Kalau kita terlalu banyak atur-aturan, jadinya bukan toleransi, tapi kontrol. Toleransi itu soal menerima dan menghormati, bukan soal mengatur."

Kobar yang dari tadi diam, akhirnya berkata, "Jadi maksud kalian, kita cuma bisa diam dan nerima apapun? Kalau ada yang bikin ribut tengah malam pun, kita harus diam?"

Kahar menggeleng. "Bukan begitu, Kobar. Kita bisa ngomong baik-baik, tapi jangan sampai melarang orang lain menjalankan keyakinannya. Setiap orang punya hak, begitu juga kita. Yang penting, kita saling menghormati tanpa merasa paling benar."

Rijal menambahkan, "Toleransi itu bukan cuma soal bersikap tenang ketika ada yang berbeda. Tapi juga soal memahami bahwa perbedaan itu adalah bagian dari hidup bersama."

Badu, yang awalnya selalu santai, kini terlihat berpikir lebih dalam. "Jadi, intinya, kita harus bisa hidup berdampingan tanpa perlu merasa terganggu, ya? Kadang kita yang harus menyesuaikan, bukan mereka yang harus berubah."

Kahar tersenyum. "Ya, seperti itulah. Kalau semua orang berpikir seperti itu, kita nggak akan merasa terganggu dengan perbedaan. Justru, kita bisa saling melengkapi."

Diskusi malam itu diakhiri dengan anggukan setuju dari semua pihak, meskipun Kobar masih tampak sedikit bingung. Esoknya, ketika kampung sebelah mengadakan perayaan agama yang membuat jalanan sedikit macet, Kobar dengan sengaja memilih jalan lain, tanpa protes.

Namun, saat sore harinya masjid dekat rumahnya mulai mengumandangkan azan dengan volume yang menurutnya "sedikit keras," Kobar hanya tersenyum sambil menutup telinganya dengan bantal. "Ini toleransi, kan?" katanya sambil tertawa kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun