Rijal yang terkenal paling tenang pun memberikan pendapatnya, "Sebenarnya, kalau kita benar-benar toleran, kita harus paham bahwa setiap orang punya hak menjalankan ibadahnya dengan cara yang mereka yakini. Selama itu nggak merugikan orang lain secara serius, kita terima saja."
Badu tiba-tiba berseri-seri. "Aku punya ide! Gimana kalau kita bikin 'Peraturan Toleransi' di kampung ini. Misalnya, nggak boleh ada ibadah yang terlalu lama, nggak boleh ada perayaan yang bikin macet, dan semua kegiatan agama harus izin ke ketua RT dulu. Gimana?"
Kahar mengernyitkan dahi. "Badu, toleransi itu nggak bisa diatur kayak begitu. Kalau kita terlalu banyak atur-aturan, jadinya bukan toleransi, tapi kontrol. Toleransi itu soal menerima dan menghormati, bukan soal mengatur."
Kobar yang dari tadi diam, akhirnya berkata, "Jadi maksud kalian, kita cuma bisa diam dan nerima apapun? Kalau ada yang bikin ribut tengah malam pun, kita harus diam?"
Kahar menggeleng. "Bukan begitu, Kobar. Kita bisa ngomong baik-baik, tapi jangan sampai melarang orang lain menjalankan keyakinannya. Setiap orang punya hak, begitu juga kita. Yang penting, kita saling menghormati tanpa merasa paling benar."
Rijal menambahkan, "Toleransi itu bukan cuma soal bersikap tenang ketika ada yang berbeda. Tapi juga soal memahami bahwa perbedaan itu adalah bagian dari hidup bersama."
Badu, yang awalnya selalu santai, kini terlihat berpikir lebih dalam. "Jadi, intinya, kita harus bisa hidup berdampingan tanpa perlu merasa terganggu, ya? Kadang kita yang harus menyesuaikan, bukan mereka yang harus berubah."
Kahar tersenyum. "Ya, seperti itulah. Kalau semua orang berpikir seperti itu, kita nggak akan merasa terganggu dengan perbedaan. Justru, kita bisa saling melengkapi."
Diskusi malam itu diakhiri dengan anggukan setuju dari semua pihak, meskipun Kobar masih tampak sedikit bingung. Esoknya, ketika kampung sebelah mengadakan perayaan agama yang membuat jalanan sedikit macet, Kobar dengan sengaja memilih jalan lain, tanpa protes.
Namun, saat sore harinya masjid dekat rumahnya mulai mengumandangkan azan dengan volume yang menurutnya "sedikit keras," Kobar hanya tersenyum sambil menutup telinganya dengan bantal. "Ini toleransi, kan?" katanya sambil tertawa kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H