Di kampung kecil yang damai, hiduplah empat orang sahabat: Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Mereka sering berkumpul di pos ronda, mengobrol soal berbagai hal, mulai dari harga cabai hingga masalah politik. Namun, akhir-akhir ini, topik yang paling sering muncul adalah soal toleransi beragama. Kampung mereka terkenal dengan keberagamannya, tapi belakangan suasana mulai agak panas.
Suatu malam, Kobar yang paling sering bicara sok bijak, mulai membuka diskusi, "Kawan-kawan, aku rasa toleransi itu penting. Aku ini orang yang paling toleran di kampung ini. Aku nggak pernah masalahin ibadah orang lain."
Badu langsung menimpali, "Toleran gimana? Kamu kan yang kemarin protes soal pengeras suara di masjid. Katanya terlalu keras, padahal kamu tinggal di sebelah masjid."
Kobar tersenyum kecut. "Itu kan soal volume, Badu. Nggak ada hubungannya sama toleransi. Lagian, aku kan cuma mau tidur nyenyak, bukan protes soal agamanya."
Rijal yang dari tadi hanya mendengarkan, akhirnya ikut bicara, "Toleransi bukan cuma soal suara masjid, Kobar. Kadang, kita harus bisa terima kebiasaan orang lain, meskipun nggak selalu sesuai dengan cara kita."
Kahar, yang biasanya lebih kalem, mengangguk pelan. "Benar. Ingat waktu ada perayaan agama lain di kampung sebelah? Kobar juga protes karena arak-arakan mereka bikin macet jalanan."
Kobar tampak kebingungan mencari alasan. "Eh, itu... aku cuma mikirin lalu lintas, Kahar. Lagian, orang yang mau lewat jadi susah kan? Bukan berarti aku nggak menghormati."
Badu tertawa keras. "Ah, alasan saja. Kamu ini sebenarnya pengen nyaman terus, tapi kalau nyamannya kamu yang terganggu, baru deh ngomel-ngomel."
Kahar menambahkan, "Toleransi itu bukan soal nyaman atau tidak nyaman, Kobar. Kita nggak bisa pilih-pilih kapan kita toleran. Namanya juga hidup bersama, pasti ada gesekan."
Kobar mulai merasa terpojok. "Tapi gimana dong, kalau setiap kali ada acara agama, jalanan macet, atau ada acara yang ganggu istirahat?"