Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teman yang Sebenarnya

17 Oktober 2024   13:23 Diperbarui: 17 Oktober 2024   13:53 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah desa kecil, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal adalah empat sekawan yang dikenal akrab. Mereka sering berkumpul di warung kopi Bu Tini, di mana obrolan mereka tak pernah jauh dari canda tawa. Namun, satu malam, suasana di warung itu terasa berbeda.

"Eh, Kobar! Kamu kenapa? Seperti baru ditinggal pacar!" Kahar menggoda sambil menatap sahabatnya yang tampak murung.

"Gak ada apa-apa kok. Cuma lagi berpikir tentang arti persahabatan," jawab Kobar sambil menyesap kopi.

Badu, yang selalu ceria, melontarkan tawa. "Persahabatan? Kamu lagi cari makna hidup ya? Ayo, kita nikmati kopi ini, tidak usah mikirin hal yang berat!"

Rijal, yang lebih serius, mendengarkan dengan seksama. "Tapi ada benarnya juga, Badu. Kadang kita perlu tahu siapa teman yang sebenarnya."

Kahar mengangguk. "Iya, Kobar. Teman itu bukan hanya yang selalu ada saat kita senang, tapi juga saat kita susah."

"Eh, emang kita teman yang seperti itu?" Badu bertanya dengan nada menantang.

Kobar menghela napas. "Aku merasa, kita semua seringkali hanya jadi teman saat kondisi baik. Misalnya, saat kita punya uang, semua datang."

Kahar menambahkan, "Jangan lupa, kita juga pernah di saat susah, kan? Tapi saat itu, kita juga seringkali terpisah."

Rijal menyela. "Tapi ada saat-saat di mana kita harus memilih, apakah kita berani jujur satu sama lain. Misalnya, saat ada di antara kita yang melakukan kesalahan."

Kobar terlihat merenung. "Jadi, menurut kalian, apa yang membuat seseorang menjadi teman yang sebenarnya?"

Badu, sambil menyodorkan gorengan, berkata, "Kalau menurutku, teman yang sebenarnya adalah yang bisa saling jujur dan terbuka. Yang bisa diajak curhat dan berbagi beban."

Kahar berpikir. "Tapi, itu juga bisa menyakitkan, kan? Misalnya, jika kita harus memberitahu satu sama lain tentang kesalahan. Itu bisa merusak hubungan."

"Ah, itu tergantung cara penyampaian," Rijal menjawab. "Kalau kita berbicara dengan baik, pasti tidak akan ada masalah. Jangan sampai kita hanya berani bicara di belakang."

Badu yang mendengarkan, tertawa. "Jadi kita harus bikin kode untuk tahu kalau kita saling jujur? Misalnya, saat kita semua ngopi, kita bilang, 'Kita ini teman sejati!' setiap kali ada masalah?"

Kahar menyeringai. "Ya ampun, Badu! Jangan sampai itu jadi meme, ya. 'Ngopi bareng, masalah selesai!'"

Kobar menambahkan, "Bagaimana kalau kita coba satu hal? Kita ambil momen ini untuk saling berbagi rahasia kecil. Siapa tahu, itu bisa memperkuat persahabatan kita."

"Setuju! Tapi siapa yang mau mulai?" tanya Rijal.

Badu berani angkat tangan. "Oke, aku mulai! Kalian semua tahu kan, aku ini pelupa? Nah, beberapa minggu lalu, aku lupa naro dompet. Teman-teman, jangan tanya, itu pengalaman yang meresahkan!"

Semua tertawa. Kahar melanjutkan, "Sekarang giliran aku. Kemarin, aku nekat minjem motor tetangga tanpa izin. Duh, itu bikin deg-degan! Mendingan kita sepakat untuk tidak berbohong dari sekarang!"

Rijal terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku punya cerita. Beberapa bulan lalu, aku merasa sangat tertekan dengan kerjaan. Tapi, aku tidak bilang ke kalian karena aku tidak ingin merepotkan. Kini, aku menyadari bahwa kalian adalah teman yang bisa kuandalkan."

Kobar tersenyum, "Sekarang giliran aku. Sebetulnya, aku juga sering berpura-pura kuat. Padahal, di dalam hati, aku juga butuh dukungan."

Badu langsung bereaksi. "Lah, Kobar! Kenapa tidak bilang dari dulu? Kita semua butuh saling dukung! Seharusnya kita bisa lebih terbuka."

Setelah beberapa cerita lucu dan sedikit mengharukan, mereka merasa lebih dekat. Kobar kemudian berkata, "Jadi, kita semua sepakat, ya? Teman yang sebenarnya adalah yang mau mendengarkan dan berbagi."

"Setuju!" serentak mereka menjawab.

Kahar menambahkan, "Kita perlu sering-sering ngumpul seperti ini. Supaya kita bisa tahu apa yang terjadi dalam hidup satu sama lain."

Badu dengan semangat berkata, "Ayo, kita buat agenda ngopi mingguan! Sekalian bisa berbagi kisah seru!"

Rijal tersenyum. "Dan siapa tahu, di setiap ngopi, kita bisa menemukan teman sejati dalam diri kita masing-masing."

Saat malam semakin larut, tawa dan canda kembali menghiasi warung kopi Bu Tini. Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal menyadari bahwa persahabatan bukan hanya tentang kebersamaan saat senang, tetapi juga tentang saling memahami dan mendukung dalam segala situasi. 

Dan dengan cara itulah mereka menjadi teman yang sebenarnya, tak hanya sekadar dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun