Di sebuah desa kecil yang penuh warna, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal adalah sahabat karib yang dikenal dengan kepribadian unik mereka. Namun, di balik tawa dan candaan, mereka seringkali merasakan ketidakberartian dalam hidup yang semakin membebani mereka. Suatu sore, mereka berkumpul di warung kopi Bu Tini, tempat favorit mereka, untuk berbincang-bincang.
"Teman-teman," kata Kobar dengan nada serius. "Apakah kalian pernah merasa bahwa hidup ini tidak berarti?"
Kahar, yang selalu berpikir dalam-dalam, mengangguk. "Aku merasa seperti itu belakangan ini. Seperti kita hanya menjadi bagian dari keramaian tanpa tujuan yang jelas."
Badu yang biasanya ceria, terlihat murung. "Iya! Aku merasa seperti aku hanya berputar di tempat. Bekerja, makan, tidur, lalu ulang lagi. Apa sebenarnya tujuan dari semua ini?"
Rijal, yang biasanya suka berdebat, mengangkat alis. "Tapi, bukankah banyak orang di luar sana yang berjuang keras untuk bertahan hidup? Kita seharusnya bersyukur karena kita masih bisa berkumpul di sini."
"Bersyukur untuk apa?" Badu menjawab. "Untuk kopi yang kita minum, atau untuk rutinitas yang membosankan? Kita harus mencari arti yang lebih dalam!"
Kobar mengusulkan, "Bagaimana kalau kita lakukan sesuatu yang berbeda? Kita cari pengalaman baru untuk menemukan arti hidup kita!"
"Seperti apa?" Kahar bertanya penasaran.
Kobar berpikir sejenak. "Kita bisa ikut kegiatan sosial atau menjadi sukarelawan. Mungkin dengan membantu orang lain, kita bisa menemukan arti hidup yang hilang itu."
Rijal skeptis. "Tapi itu kan hanya akan membuat kita lelah. Lagipula, apa bedanya kita membantu orang lain jika kita sendiri merasa tidak berarti?"