Semua tertawa. Rijal mengangkat tangannya dengan konyol. "Aku tidak mencuri! Aku hanya... mengambil sisa yang terbuang! Itu juga bisa dianggap penyelamatan makanan!"
Kahar tersenyum. "Tapi itu tetap salah, Rijal. Kita harus berani mengakui kesalahan kita dan memperbaikinya."
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benak Kobar. "Bagaimana kalau kita buat tantangan keberanian? Setiap dari kita harus melakukan satu hal berani yang benar dalam seminggu ini dan cerita di sini!"
Badu langsung setuju. "Setuju! Itu bisa jadi menarik! Kita lihat siapa yang paling berani!"
Rijal berkata, "Tapi kita harus mendefinisikan dulu apa yang dimaksud dengan berani. Jangan sampai Badu berani melawan adiknya yang nakal, tapi itu malah jadi masalah baru!"
"Bagus, kita buat aturan!" seru Kahar. "Berani harus berdasarkan kebenaran, bukan hal bodoh!"
Mereka semua sepakat dan memutuskan untuk berbagi cerita minggu depan. Setelah berjanji, mereka pulang ke rumah masing-masing.
Seminggu berlalu, dan sore itu mereka kembali berkumpul di warung kopi. Kobar membuka pertemuan. "Oke, teman-teman! Siapa yang mau mulai?"
Kahar mengangkat tangan. "Aku! Aku berani memberi tahu tetangga bahwa mereka terlalu sering membuang sampah sembarangan di depan rumahku. Awalnya mereka marah, tapi setelah itu mereka meminta maaf dan berjanji untuk membuang sampah dengan benar."
Semua bertepuk tangan. "Bagus, Kahar!" seru Badu.
Badu melanjutkan, "Aku juga berani! Aku bilang pada guruku bahwa ulangan matematika terlalu sulit dan tidak adil. Dan dia setuju untuk memberikan ujian ulang!"