Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebenaran yang Relatif

16 Oktober 2024   15:01 Diperbarui: 16 Oktober 2024   15:08 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa yang damai dan asri, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal adalah sahabat karib. Setiap sore, mereka duduk di warung kopi milik Bu Tini untuk bersantai dan membahas berbagai topik, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga isu-isu yang lebih kompleks. 

Suatu sore, perbincangan mereka beralih ke topik yang lebih berat: nilai kebenaran yang relatif.

"Menurut kalian, apakah kebenaran itu mutlak atau relatif?" tanya Kobar sambil menyeduh kopi.

Kahar, yang selalu kritis, langsung menjawab, "Kebenaran itu relatif! Apa yang benar bagi seseorang, belum tentu benar bagi orang lain. Contohnya, aku suka kopi hitam, tetapi Badu lebih suka kopi susu."

Badu, yang sedang mencicipi kopinya, mengangguk setuju. "Ya, dan aku percaya bahwa kita semua memiliki kebenaran masing-masing. Seperti ketika kita bermain sepak bola. Kemenanganku mungkin dianggap kalah oleh tim lain!"

Rijal, yang optimis, menambahkan, "Tapi ada juga kebenaran yang universal, seperti bahwa air itu basah. Itu tidak bisa diperdebatkan!"

Kobar mengerutkan kening. "Tapi, ada orang yang mengatakan bahwa air bisa menjadi es, dan dalam keadaan itu, ia tidak lagi basah. Lalu, apa kita bisa bilang itu salah?"

Mereka semua terdiam sejenak, merenungkan argumen Kobar. Kemudian, Kahar dengan semangat berujar, "Bagaimana kalau kita uji nilai kebenaran ini dengan tantangan? Kita buat debat tentang kebenaran relatif!"

"Setuju!" seru Badu. "Kita bagi jadi dua tim. Satu tim membela kebenaran mutlak dan yang lain membela kebenaran relatif. Siapa yang kalah harus membayar kopi!"

Setelah sepakat, mereka mulai mempersiapkan argumen masing-masing. Kobar dan Rijal berdebat untuk tim kebenaran relatif, sementara Kahar dan Badu berjuang untuk tim kebenaran mutlak. Mereka sepakat untuk bertemu di lapangan desa keesokan harinya.

Hari perdebatan tiba, dan warga desa berkumpul untuk menyaksikan acara tersebut. Kobar, sebagai moderator, membuka debat. "Selamat datang di debat hari ini! Mari kita lihat apakah kebenaran itu mutlak atau relatif!"

Kahar, mewakili tim kebenaran mutlak, mulai dengan percaya diri. "Saya yakin bahwa kebenaran itu mutlak. Misalnya, hukum gravitasi. Apa pun yang kita lakukan, benda akan jatuh ke tanah. Itu adalah kebenaran yang tidak bisa disangkal!"

Rijal, yang berada di tim kebenaran relatif, menjawab, "Tapi, ada kalanya hukum gravitasi bisa dibantah. Misalnya, saat kita melihat pesawat terbang. Ia terbang meskipun beratnya sangat besar. Jadi, bisa jadi kebenaran tidak selamanya mutlak!"

Badu, tidak mau kalah, berdiri dan berkata, "Kita harus mengingat bahwa dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak sudut pandang. Apa yang kita anggap benar bisa dipengaruhi oleh budaya, agama, dan pengalaman masing-masing."

Kahar merespons, "Tapi bukankah ada kebenaran yang diakui secara universal? Seperti bahwa membunuh itu salah? Itu mutlak!"

Kobar mengangkat tangan. "Tunggu, Kahar. Dalam beberapa budaya, ada tradisi yang mungkin tampak aneh bagi kita, tetapi mereka menganggapnya benar. Misalnya, ada budaya yang melakukan pengorbanan sebagai bagian dari ritual. Apakah kita bisa mengatakan itu salah hanya karena kita tidak setuju?"

Masyarakat desa mulai terlibat. Beberapa penduduk memberi pendapat mereka, dan suasana semakin hangat.

"Menurut saya, semua orang berhak punya pendapat," kata Ibu Tini, pemilik warung kopi. "Tapi jika semua orang merasa benar, lalu bagaimana kita bisa menemukan kesepakatan?"

"Jadi, kita semua hidup dalam kebenaran kita masing-masing, ya?" tanya seorang pemuda dari kerumunan.

"Persis!" jawab Rijal. "Tapi itu tidak berarti kita tidak bisa belajar dari orang lain."

Perdebatan berlanjut dengan banyak tawa dan candaan. Di tengah suasana tersebut, Kobar melihat ke arah Kahar dan Badu, yang tampak semakin bersemangat dalam berargumen. "Kita tidak akan pernah bisa menentukan siapa yang benar sepenuhnya. Mungkin, nilai kebenaran itu terletak pada kemampuan kita untuk menghargai pendapat orang lain."

Akhirnya, setelah berjam-jam berdebat, mereka memutuskan untuk menghentikan perdebatan. Kobar, sebagai moderator, mengumumkan, "Sepertinya kita tidak akan pernah sampai pada kesimpulan yang sama. Tapi itu bukan masalah. Yang penting adalah kita belajar untuk saling mendengarkan dan menghargai sudut pandang masing-masing."

Kahar dan Badu tersenyum, dan Badu berkata, "Jadi, siapakah yang kalah dalam debat ini?"

"Sepertinya kita semua menang, karena kita bisa menikmati kopi gratis dari pendapat kita!" jawab Rijal dengan ceria.

Semua orang tertawa, dan Kobar menambahkan, "Ya, mari kita rayakan dengan segelas kopi! Kebenaran mungkin relatif, tetapi kebersamaan kita adalah sesuatu yang mutlak!"

Dengan semangat, mereka semua kembali ke warung kopi Bu Tini, berbagi cerita dan tawa, menyadari bahwa meskipun kebenaran bisa berbeda-beda, persahabatan mereka tetap menjadi kebenaran yang terpenting.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun