Di sebuah desa kecil bernama Desa Harapan, hiduplah empat sahabat: Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Keempatnya dikenal sebagai pemuda yang humoris dan selalu menghabiskan waktu bersama di pos ronda. Namun, ada satu hal yang membuat mereka sering kali menggelengkan kepala: sosok guru kampung yang terkenal dengan metode pengajaran yang unik---yaitu, Pak Surya.
Pak Surya adalah guru SD di desa tersebut, dan bisa dibilang ia adalah "guru" paling terkenal se-Desa Harapan. Namun, bukan karena prestasinya mengajar, melainkan karena gayanya yang sangat konyol. Setiap kali mengajar, Pak Surya tidak pernah lupa untuk memakai topi besar berwarna cerah dan kacamata hitam yang membuatnya terlihat lebih mirip badut ketimbang guru.
"Eh, kalian ingat gak kemarin Pak Surya ngajarin anak-anak tentang matematika dengan lagu dangdut?" tanya Kobar sambil tertawa. "Siapa yang butuh rumus ketika bisa ngedance?"
Kahar menepuk lututnya. "Iya! Dia bilang, 'Kalau mau tahu 2 + 2, ayo kita goyang bareng!'. Dan anak-anak jadi bingung mana yang harus dihitung, gerakan atau angka!"
Badu menambahkan, "Dan yang paling lucu adalah saat dia ngajar bahasa Inggris. Dia nyanyiin lagu 'Twinkle, Twinkle, Little Star' dengan nada rock! Tiba-tiba anak-anak yang tadinya nyanyi bareng jadi pada bingung, 'Kok bintang bisa jadi heavy metal?'"
Rijal hanya tertawa melihat teman-temannya. "Tapi ya, di balik semua konyolnya itu, anak-anak jadi lebih antusias ke sekolah. Itu yang penting, kan?"
Kobar mengangguk. "Iya, betul. Mungkin Pak Surya berpikir, daripada ngantuk dengerin dia ceramah, lebih baik nyanyi-nyanyi sambil belajar."
Namun, tidak semua orang di desa sepakat dengan metode pengajaran Pak Surya. Beberapa orang tua merasa khawatir anak-anak mereka tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Suatu hari, sekelompok orang tua berkumpul di balai desa untuk membahas masalah ini.
"Anak-anak kita jadi tidak fokus! Mereka lebih suka nyanyi dan joget daripada belajar," keluh Bu Rina, salah satu orang tua. "Kita perlu mencari guru yang lebih serius!"
"Setuju! Kita butuh guru yang bisa mengajarkan ilmu dengan cara yang lebih tradisional, bukan dengan joget-joget!" sahut Pak Darto, pemimpin kelompok.
Ketika berita tentang pertemuan tersebut sampai ke telinga Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal, mereka pun penasaran dan memutuskan untuk datang ke balai desa.
"Apakah mereka benar-benar mau mengganti Pak Surya?" tanya Kahar dengan cemas.
"Sepertinya iya," jawab Rijal. "Mungkin kita harus menunjukkan bahwa metode Pak Surya juga efektif."
Setelah mendengarkan perdebatan panjang lebar, Kobar melangkah maju. "Maaf, semua. Saya rasa kita harus memberi Pak Surya kesempatan lagi. Mungkin dia memang berbeda, tapi lihat anak-anak yang ceria saat belajar. Itu adalah hal yang lebih berharga!"
Bu Rina menatap Kobar dengan skeptis. "Tapi, Kobar, pendidikan itu serius! Kita tidak bisa hanya bergantung pada lagu dan tarian!"
Badu menambahkan, "Coba kita lakukan eksperimen. Kita tanya langsung ke anak-anak, siapa di antara mereka yang lebih suka belajar dengan cara Pak Surya atau cara tradisional. Siapa tahu kita bisa melihat efeknya."
Setelah berdebat panjang, akhirnya disepakati untuk mengadakan sebuah survei kecil-kecilan di sekolah. Mereka memanggil anak-anak dan memberikan pilihan: metode Pak Surya atau metode tradisional. Hasilnya, mayoritas anak-anak memilih untuk belajar dengan cara yang lebih menyenangkan.
"Pak Surya itu bikin kita betah di sekolah! Meskipun kadang bingung, tapi kita jadi suka belajar!" kata seorang anak bernama Andi.
Mendengar hasil tersebut, para orang tua terdiam. Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal pun tersenyum lebar. Mereka berhasil membuktikan bahwa pembelajaran yang menyenangkan dapat menciptakan minat belajar yang lebih baik.
Bu Rina akhirnya mengakui, "Mungkin kita memang harus melihat dari sudut pandang anak-anak. Belajar harusnya tidak selalu membosankan."
Akhirnya, Pak Surya tetap diangkat sebagai guru, dengan beberapa catatan untuk meningkatkan metode pengajarannya. Dia tetap menggunakan lagu dan gerakan, tetapi mulai menambahkan elemen yang lebih edukatif dan terstruktur.
Beberapa bulan kemudian, saat Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal duduk di pos ronda, mereka mendengar dari jauh suara anak-anak yang sedang menyanyi di sekolah.
"Hey, lihat! Mereka masih nyanyi, kan?" Kobar menunjuk ke arah sekolah.
"Dan mereka tetap senang!" jawab Kahar. "Ternyata, meskipun ada kritik, Pak Surya masih bisa mengajarkan dengan cara yang asyik."
Badu tersenyum. "Yang penting, pendidikan tidak hanya soal buku dan pelajaran, tapi juga soal bagaimana menjadikan proses belajar itu menyenangkan."
Rijal menambahkan, "Terkadang, cara paling efektif untuk mengajar adalah dengan menyentuh hati anak-anak, bukan hanya otak mereka."
Akhirnya, mereka menyadari bahwa pendidikan bukan hanya tentang menyampaikan materi, tetapi juga tentang menciptakan suasana yang kondusif dan menyenangkan. Dan dengan begitu, Desa Harapan pun menjadi contoh bagi desa-desa lain tentang bagaimana mengajar dengan gaya yang berbeda, tapi tetap memiliki tujuan yang sama: mencerdaskan anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H