Di sebuah desa kecil yang dikenal dengan slogan "Desa Cerdas", Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal sering berkumpul di warung kopi untuk mendiskusikan isu-isu terkini, termasuk tentang pendidikan gratis yang digalakkan pemerintah. Suatu hari, Kobar muncul dengan ide cemerlang.
"Bagaimana kalau kita membuat sekolah gratis kita sendiri?" seru Kobar dengan penuh semangat.
"Sekolah gratis? Dengan siapa kita mengajarnya? Jangan-jangan kita yang harus jadi gurunya!" tanya Kahar, sambil tertawa.
"Ya, kenapa tidak? Kita sudah cukup 'berpengalaman'!" Badu menimpali dengan nada skeptis.
"Pengalaman apa? Pengalaman membolos?" Rijal menggoda, membuat semua orang tertawa.
Namun, Kobar tetap bersikeras. "Kita bisa ajarkan mata pelajaran yang lebih relevan, seperti cara bertahan hidup di dunia nyata. Siapa tahu bisa jadi lebih berguna daripada matematika!"
Kahar setuju. "Betul! Kita bisa mulai dengan pelajaran 'Cara Meminta Uang Saku ke Orang Tua'!"
Badu menambahkan, "Jangan lupa pelajaran 'Cara Menghindari PR'! Ini sangat penting!"
Rijal yang tertawa terpingkal-pingkal, "Atau 'Mengelola Waktu dengan Baik... di Jam Tidur'!"
Setelah tertawa, mereka sepakat untuk mempersiapkan sekolah gratis mereka. Mereka pun mengumumkan kepada warga desa bahwa mereka akan membuka sekolah dengan nama "Sekolah Konyol untuk Kehidupan Nyata".