Di sebuah desa kecil, empat sahabat---Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal---dikenal sebagai pengamat politik yang ulung. Suatu hari, mereka memutuskan untuk bermain kartu sambil membahas situasi politik terkini. "Ayo, kita main kartu sambil membahas pemilu!" seru Kobar, dengan semangat menggebu.
"Setuju! Ini saat yang tepat untuk mendiskusikan 'kartu-kartu' politik!" jawab Kahar, sambil mencuri pandang ke arah tumpukan kartu remi.
"Jangan-jangan kita malah saling serang kayak di politik," Badu menimpali, membuat Rijal tertawa.
Setelah menyusun kursi dan menyiapkan meja, mereka mulai bermain. Kobar yang menjadi dealer pertama. "Oke, aturan pertama: setiap kartu yang keluar adalah perwakilan partai. Jika kita dapat kartu as, itu partai besar. Kartu angka berarti partai kecil!"
"Dan joker adalah para politisi yang tidak bisa dipercaya!" sahut Rijal sambil tertawa.
Permainan dimulai, dan Kobar membagikan kartu. Namun, tak lama setelah itu, Badu yang terlihat serius malah meluapkan emosi. "Ini jelas! Kartu tujuh yang saya dapat ini mewakili janji manis yang tak pernah ditepati!"
Kahar mengangguk setuju. "Sama seperti calon presiden yang selalu berjanji akan menurunkan harga bahan pokok, tapi setiap kali kita pergi ke pasar, harganya malah semakin naik!"
Rijal, yang sudah mulai kesal, berusaha mengambil alih permainan. "Tunggu dulu, kita perlu membahas kartu mana yang lebih berpotensi! Kartu raja harusnya jadi pemimpin, bukan hanya kartu biasa."
Kobar, yang merasa ragu, bertanya, "Kalau begitu, bagaimana kalau kita memilih ketua dari kartu yang ada?"
"Setuju! Siapa yang mendapatkan kartu tertinggi, dia jadi ketua!" seru Kahar.
Setelah beberapa putaran, Badu berhasil mendapatkan kartu as. "Saya yang jadi ketua! Ayo, kita rencanakan strategi politik kita!" teriaknya penuh semangat.
"Tunggu! Kita belum menentukan posisi masing-masing!" Rijal berteriak. "Kau bisa saja jadi ketua, tapi kita semua butuh jabatan!"
Kobar dengan cepat meraih kartunya dan menunjukkan kartu dua. "Kita semua butuh perwakilan di setiap level! Kartu ini merepresentasikan jari-jari tangan rakyat, semua harus saling mendukung!"
Rijal segera menimpali, "Tapi dengan begini, kita malah terlihat seperti jari telunjuk yang menunjuk ke orang lain! Ini bukan cara yang baik untuk memimpin!"
Badu tersenyum lebar. "Jadi, sepertinya kita perlu menjadikan setiap kartu sebagai wakil rakyat. Yang dapat kartu kecil jadi anggota DPR, dan yang besar jadi presiden!"
"Dan joker sebagai pengamat, untuk selalu siap memberi kritik!" Kahar menambahkan, tak mau ketinggalan.
Permainan semakin seru ketika tiba-tiba Kobar berteriak, "Ini dia! Kartu jokernya! Kita harus segera melakukan sidang mendadak!"
Badu dan Kahar saling berpandangan. "Sidang mendadak? Di sini? Sambil main kartu?" seru Badu bingung.
"Ya, supaya kita bisa membahas anggaran untuk pengadaan kartu yang lebih baik!" jawab Kobar.
Akhirnya, mereka sepakat untuk melakukan sidang parodi. Semua yang ada di meja dijadikan alat untuk berdebat. Kahar mengambil botol minuman sebagai 'kursi pimpinan'. "Sidang dimulai! Kita perlu membahas satu hal yang penting: bagaimana agar kartu kita tidak dibajak?"
Rijal, yang sudah tertawa terpingkal-pingkal, berkomentar, "Kita tinggal buat undang-undang baru: setiap kartu yang dibajak harus dibayar denda dengan lima kartu baru!"
"Setuju!" teriak Badu. "Tapi bagaimana kalau kita dibajak orang lain? Kita harus punya kartu cadangan!"
Dengan penuh semangat, mereka terus membahas berbagai hal konyol tentang politik sambil bermain kartu. Dalam keadaan santai, mereka menyadari bahwa situasi politik yang rumit bisa dipandang dari sisi yang lebih lucu.
Ketika malam tiba, mereka semua pulang dengan perasaan lega. Meskipun tidak ada kesepakatan nyata dalam permainan, mereka memiliki banyak tawa dan kenangan. Dalam benak mereka, kartu-kartu itu bukan hanya alat bermain, tetapi juga simbol dari segala sesuatu yang terjadi di dunia politik---penuh kejutan, kekacauan, dan tentu saja, keceriaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI