Mimbar yang Sepi

Di ruang sidang megah, 

kau duduk tegak 

seperti pilar yang rapuh, 

berbicara lantang 

tanpa mendengar gema 

dari suara-suara 

yang kau wakili.

Di balik meja panjang, 

kau susun kata-kata 

yang melayang seperti daun gugur, 

tanpa akar 

tanpa makna, 

terbang terbawa angin 

janji yang tak pernah kembali.

Rakyat adalah bayang-bayang 

di sudut matamu, 

sebuah angka 

di lembaran laporan, 

seringkali tak terlihat 

di balik kaca gelap 

mobil dinasmu.

Di mimbar, 

kau berdiri seolah dewa, 

tapi di bawah langit terbuka, 

kami berjalan dengan luka 

yang tak kunjung sembuh, 

dari janji yang menguap 

di panas terik matahari.

Kau bicara tentang perubahan, 

sementara tanganmu 

menggenggam erat 

kursi kekuasaan, 

seperti tali yang melilit leher, 

mengikat impian kami 

yang dulu bebas melayang. 

Kami adalah suara 

yang tak kau dengar, 

puisi yang tak pernah kau baca 

dalam setiap rapat 

yang sunyi, 

di mana keadilan hanya 

sebuah kata 

yang kau kenakan 

seperti jas mahal.

Di ujung hari, 

kau pulang dengan senyum 

yang tertinggal di ambang pintu, 

sedangkan kami 

tertidur di atas tumpukan harapan 

yang makin tipis, 

menanti fajar 

tanpa tahu 

apakah esok 

akan membawa wajah baru 

atau sekadar mimpi 

yang kembali 

terbentur kenyataan.