Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tetap ke Tukang Cukur Tradisional, sekalipun Barbershop Menjamur

25 Januari 2025   06:05 Diperbarui: 25 Januari 2025   06:05 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang cukur tradisional DPR di Kota Bogor. (KOMPAS.com / RAMDHAN TRIYADI BEMPAH)

BARBERSHOP Menjamur? Bisa iya, bisa tidak. Saya tidak begitu memperhatikan. Juga tidak memiliki data statistik, yang dapat menggambarkan pertumbuhan barbershop dalam satu periode tertentu di Kota Bogor .

Namun, setidaknya dalam radius satu setengah kilometer dari tempat tinggal, dalam tiga tahun terakhir tampak gerai barbershop baru. Ada tiga atau empat, tetapi belakangan mereka tutup.

Mengenali barbershop tidak sulit. Ada lampu merah putih biru berputar (barber pole) di depan gerai.

Interior berpendingin udara. Terlihat dari komponen outdoor yang ditaruh di luar. Dari balik kaca tampak blower.

Jujur, saya belum pernah memasuki apalagi mencobanya. Jadi tidak bisa menilai suasana ruang dalam. Ada beberapa pertimbangan mengapa saya belum memanfaatkan jasa penata rambut di barbershop.

Pertama, harga mungkin lebih mahal ketimbang di tukang cukur langganan. 

Satu tempat hang-out di jalan Walet, Kota Bogor, menyediakan layanan potong kuku dan barbershop, selain makan dan minum. Untuk mendapatkan layanan cukur, terlebih dahulu pelanggan mesti bikin perjanjian. Kayak konsultasi dengan dokter spesialis saja.

Harganya pun spesial: Rp100.000! Itu setara dengan dua tiga bulan K-Rewards yang saya dapatkan. Bagi mereka yang rutin mendapat gaji sih oke saja. Lha saya? Bisa gempor! Lha wong tiap bulan gajian pada tanggal 34.

Kedua. Saya tidak butuh potongan stylish, yang memerlukan kecermatan tinggi dengan pelayanan luar biasa di tempat berpendingin udara. Tidak perlu.

Langganan saya adalah kios potong rambut tidak jauh dari rumah. Atau, di tempat berbeda dengan layanan sama.

Umumnya tukang cukur tradisional yang menyewa kios atau ruko sederhana adalah Asgar, asli Garut.

Mereka mematok harga terjangkau. Paling tinggi Rp20 ribu untuk pria dewasa. Kalau ruangan ber-AC, bisa Rp25.000 sekali cukur rambut, tidak termasuk cukur jenggot.

Bila tukang cukur langganan libur alias tutup karena pulang kampung, saya tidak ragu menggunakan tukang cukur tradisional berbeda. 

Bahkan, sekali waktu cukur rambut tradisional DPR alias di bawah pohon rindang di pinggir jalan. Harganya? Katanya, terserah. Wa ini yang bikin repot. 

Kasih sepuluh ribu, rasanya kemurahan. Diberi dua puluh ribu, sama dengan di tukang cukur langganan. 

Maka saya membayar harga tengah-tengah, Rp15.000! Saya senang. Tukang cukur senang. Habis perkara.

Ketiga, alasan ini pendek saja. Tukang cukur akan memijat dahi, kepala, leher, dan bahu usai memotong rambut pelanggan. Mak krek! Mata terasa terang benderang.

Apakah di barbershop tersedia layanan serupa? Saya tidak tahu, berhubung belum pernah memasuki tukang cukur modern itu.

Sampai saat ini saya belum berminat menggunakan layanan barbershop, sekalipun ia menawarkan banyak kelebihan dibanding tukang cukur tradisional.

Kepada tukang cukur tradisional/langganan, saya meminta agar memotong rambut dengan clipper (alat cukur elektrik) tanpa ukuran, alias potong habis menyisakan rambut kurang dari setengah senti.

Sebentar saja. Srat sret. Kerik. Pembersihan. Pijat. Bayar. Selesai.

Tak perlu mahal. Tak perlu saran ahli terkait pilihan gaya rambut. Tak perlu layanan lama dan nyaman. Tak perlu bayar mahal. Tak perlu model-model.

Itu sebabnya, kenapa saya tetap ke tukang cukur tradisional, sekalipun barbershop kini menjamur.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun