Satu hari pertama pada tahun yang baru tampak berbeda ketimbang hari-hari sebelumnya, bahkan dengan hari-hari berikutnya. Demikian sangat berbeda.
Jalan kaki menyusuri trotoar adalah menemui sepi. Tidak menjumpai satu pun sesama pejalan kaki. Jalanan juga tampak lengang, yang biasanya riuh dengan hilir mudik beragam kendaraan bermotor, sepeda, becak es krim, gerobak sayur, dan lainnya.
Pagi tanggal satu itu burung-burung mengekspresikan kicauan tanpa bersaing dengan suara bising knalpot.
Udara terasa segar mengalir bebas, masuk melalui saluran pernapasan tanpa ditunggangi polusi. Kesempatan bagus menyedot oksigen gratis, lalu mengembuskan karbondioksida yang lalu ditangkap dedaunan memayungi jalan.
Saya berjalan perlahan menikmati suasana damai dan hening pada pagi bercuaca cerah. Kesempatan yang hanya ada sekali dalam setahun, saya yakin.
Apakah itu yang disebut sebagai hidup lambat? Slow living?
Dikatakan bahwa slow living merupakan hidup damai dengan sedikit ketergesaan. Gambarannya, bangun pagi, memandang pegunungan, seruput kopi hangat, sarapan tanpa tergesa. Slow living juga terkait dengan kegiatan bertani, berkebun, dan berniaga di perdesaan (sumber).
Maka, Sebagian orang membidik sejumlah wilayah sebagai tempat hidup santai dan bermakna, karena memiliki suasana tenang, sejuk, nyaman, dan pastinya warga umumnya tidak tergesa-gesa.
Slow living. Hidup lebih lambat adalah gaya hidup memperlambat irama kehidupan yang semula serba cepat. Titik perhatiannya pada kesahajaan dan penikmatan terhadap waktu. Tidak sibuk berlebihan.
Ada saatnya kesibukan demikian mengatur saya, sehingga waktu 24 jam sehari terasa sangat tidak cukup.
Sibuk dan bergegas agar tidak kalah dalam kompetisi, baik dalam pekerjaan pun kegiatan usaha. Melakukan multitasking. Satu tugas belum selesai sudah datang pekerjaan berbeda dan seterusnya. Tugas bertumpuk-tumpuk dalam satu waktu.
Sampai kemudian penyakit kronis seketika menghentikannya. Hidup menjadi lambat, lantaran kini tubuh tidak bisa bercepat-cepat. Menjadi hambar dan tawar, karena konsumsi GGL (gula, garam, lemak) dibatasi. Sedihlah kalau diceritakan semua.
Keadaan itu memunculkan satu kesadaran, kendati terlambat, sangat terlambat, terlalu terlambat dan mungkin tidak berpengaruh bagi saya, yaitu bahwa slow living sangat berarti untuk hidup nyaman secara berkelanjutan.
Seandainya boleh disesali, alangkah lebih baik bila dulu saya berada dalam keadaan tidak tergesa-gesa, sibuk, diburu waktu, tugas bertumpuk-tumpuk, dan gaya hidup ruwet lainnya.
Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Tidak juga menjadi bubur ayam, yang masih enak disantap.
Waktu itu, daripada hidup di kota besar bersibuk-sibuk, lebih baik saya tinggal di daerah tenang. Bisa memandang gunung sambil menyeruput kopi dan makan singkong goreng dalam suasana sejuk dan nyaman.
Namun, tidak selamanya slow living tergantung pada tempat. Sekian puluh tahun lalu, Kota Bogor memenuhi syarat sebagai daerah permukiman tenang, sejuk, nyaman, dengan latar belakang Gunung Salak.
Sebagian warga saling mengenal, setidaknya saling mengetahui. Kegiatan sejenak berhenti di sekitar waktu Maghrib. Toko-toko termasuk di pecinan tutup setelah Isya.
Setelah itu, jalanan sepi. Rasanya, semua orang tidak bergegas, kecuali yang terbirit-birit ke kamar mandi, berhubung ada desakan tak tertahankan.
Kini Kota Bogor yang hidup siang malam menampilkan wajah berbeda. Pengguna jalan bersicepat pada jam sibuk. Macet. Bising. Ruwet. Cenderung panas. Bangunan-bangunan hotel bertingkat-tingkat merobohkan pohon-pohon tua. Boleh dibilang, kesibukan metropolis berpindah ke Kota Hujan
Kota Bogor menjadi kota tergesa-gesa yang kehilangan tenang, sejuk, dan suasana nyamannya. Rasanya, kini kurang memenuhi syarat sebagai tempat untuk menjalankan gaya hidup lebih lambat.
Tinggal, pikiran dan perilaku yang menentukan, karena slow living lebih dari sekadar lokasi atau lingkungan.
Memang lingkungan tenang, sejuk, dan jauh dari hiruk pikuk membantu dalam penerapan slow living. Namun, bukan berarti tidak bisa diterapkan di lingkungan tidak ideal, di kota yang sibuk.
Ada saatnya mengondisikan pikiran dan perilaku tenang, sabar, menghargai proses, tidak tergesa-gesa, tidak multitasking, terhubung dengan alam, menghargai kesederhanaan agar bisa menghadirkan keadaan slow living.
Pendekatan tersebut menegaskan, slow living lebih kepada cara pandang (mindset) terhadap hidup. Dengan pikiran dan perilaku di atas, serta komitmen kuat, bisalah menerapkan slow living di mana pun berada.
Tanpa rencana, saya akhirnya menjalani hidup dengan ritme lebih lambat. Pikiran dan perilaku yang membentuknya.
Penerapan slow living lantaran satu serangan penyakit memaksa saya bergerak lebih lambat. Kalau boleh kasih saran, agar para pembaca tidak meniru pola tersebut. Namun, kesadaran slow living tumbuh lebih karena kehendak belaka
Balik lagi. Pada tanggal 1 Januari 2025 dua hari lalu saya berjalan kaki, saat sebagian orang rehat usai merayakan malam tahun baru. Momentum menikmati tenang Kota Bogor yang hanya terjadi setahun sekali.
Saya menikmati sepi yang sangat sepi, meresapi hening sepuasnya, terkoneksi dengan alam dalam ketidakbisingan, dan mendapatkan inspirasi untuk menuliskan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H