Tinggal, pikiran dan perilaku yang menentukan, karena slow living lebih dari sekadar lokasi atau lingkungan.
Memang lingkungan tenang, sejuk, dan jauh dari hiruk pikuk membantu dalam penerapan slow living. Namun, bukan berarti tidak bisa diterapkan di lingkungan tidak ideal, di kota yang sibuk.
Ada saatnya mengondisikan pikiran dan perilaku tenang, sabar, menghargai proses, tidak tergesa-gesa, tidak multitasking, terhubung dengan alam, menghargai kesederhanaan agar bisa menghadirkan keadaan slow living.
Pendekatan tersebut menegaskan, slow living lebih kepada cara pandang (mindset) terhadap hidup. Dengan pikiran dan perilaku di atas, serta komitmen kuat, bisalah menerapkan slow living di mana pun berada.
Tanpa rencana, saya akhirnya menjalani hidup dengan ritme lebih lambat. Pikiran dan perilaku yang membentuknya.
Penerapan slow living lantaran satu serangan penyakit memaksa saya bergerak lebih lambat. Kalau boleh kasih saran, agar para pembaca tidak meniru pola tersebut. Namun, kesadaran slow living tumbuh lebih karena kehendak belaka
Balik lagi. Pada tanggal 1 Januari 2025 dua hari lalu saya berjalan kaki, saat sebagian orang rehat usai merayakan malam tahun baru. Momentum menikmati tenang Kota Bogor yang hanya terjadi setahun sekali.
Saya menikmati sepi yang sangat sepi, meresapi hening sepuasnya, terkoneksi dengan alam dalam ketidakbisingan, dan mendapatkan inspirasi untuk menuliskan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H