LANGIT MURUNG di hampir sepanjang Desember lalu. Lebih dari dua pekan saya tidak keluar rumah untuk olahraga pagi.
Mendung menurunkan hujan ketika semestinya matahari memancarkan kehangatan pagi. Ditambah, kondisi kesehatan pada waktu itu sedang tidak baik-baik saja. Pilihannya, berbaring dan berselimut demi meredakan demam.
Tetapi tidak selamanya cuaca mengantarkan dingin dan becek. Jelang waktu penutupan tahun 2024 matahari memancarkan cahaya, meski masih malu-malu. Bumi menghangat.Â
Tiba waktunya bagi saya mencari keringat di luar rumah, sembari menggeretakkan tulang belulang beku.
Sabtu 28 Desember 2024 pagi yang tidak hujan, saya berjalan menjauhi pintu rumah menuju trotoar. Takada tujuan khusus selain dari olahraga jalan pagi. Sarapan, sudah. Dengan mie glosor, penganan khas Bogor yang terbuat dari tepung tapioka.
Jalan punya jalan, petualangan pagi melebar ke RTH Taman Manunggal, Kota Bogor. Lanjut ke Pasar Merdeka cari-cari dan beli sayur segar, akhirnya terpikir meneruskan penjelajahan hingga waktu makan siang.
Di dalam pikiran terbersit hanya satu jenis hidangan hendak disantap: makanan berkuah! Satu keinginan yang menggebu-gebu ketika meringkuk sakit menahan dingin, menyantap hidangan berkuah hangat nan bening tidak bersantan.
Beragam pilihan. Paling mudah, ya bakso. Atau soto mie, soto Lamongan, sup buntut. Bingunglah jadinya.
Saat melewati Jalan Mawar, teringat mie kocok. Puluhan tahun yang lalu mangkal penjual mie kocok isi kikil, di dekat sebuah bangunan gardu listrik buatan Belanda.Â
Mie kocok lebih dikenal sebagai jajanan khas Kota Bandung. Namun, bukan berarti tidak ada di Kota Bogor, kendati tidak selumrah bakso. Saya mengetahui keberadaan mie kocok itu sejak kepindahan keluarga ke Kota Hujan di tahun 1980.