Tapi sekali ini Pak RT enggan melaksanakannya. Entahlah, apa yang membuatnya selalu bermenung di rumah, enggan pergi ke danau di pinggir kota sebagai tempat favoritnya memancing.
Namun, desakan demi desakan penuh api setelah sekian hari membuatnya mempersiapkan segala sesuatu. Demikian agar semuanya berjalan mulus tanpa ada hambatan berarti pada saat memancing.
"Mah, aku berangkat. Ke tempat biasa. Mungkin butuh seharian penuh untuk konsentrasi. Selama itu, tak perlulah meneleponku."
Setengah jam Pak RT berangkat, sang istri keluar rumah, lupa pada kepala masih bertengger beberapa rol rambut warna-warni, menuju satu rumah. Menuju ke beberapa rumah.
Emak-emak berjalan sambil mengangkat ujung daster, supaya gegas melangkah tanpa takut keserimpet lalu menggelinding bagai bola salju.
Bapak-bapak hanya berani melihat dengan ekor mata. Berpura-pura tidak tahu. Berpura-pura menyetel sepeda motor. Berpura-pura melakukan sesuatu yang tidak diketahui maksudnya.
Pintu digedor berkali-kali oleh tangan-tangan marah, "Keluar kau, wanita jalang!"
Takada reaksi. Tidak juga terdengan putaran anak kunci.
Bu RT perlahan menarik napas dari lubang hidung. Tidak masuk ke rongga dada, tetapi melaui diafragma masuk ke dasar perut, dan ditahan di sana selama sepuluh hitungan. Dengan tidak tergesa-gesa secara bertahap napas perut didesiskan melalui mulut. Tiga kali tarik-lepas.
"Ciaaaat ...! Sontak lembaran kayu tumbang. Bu RT terjerembab untuk menemukan bahwa kamar itu tiada penghuni. Ibu-ibu lain menyerbu kamar mandi, kosong!
Mereka menunggu dan menunggu hingga matahari hampir rebah di pelukan lengkung langit barat, tetapi yang ditunggu tidak menampakkan mancungnya. Secara bergantian, mereka menunggu wanita muda pulang.