Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan-Perempuan Mandiri Pencari Nafkah Keluarga

12 Desember 2024   10:05 Diperbarui: 12 Desember 2024   18:04 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nggak jualan, ya nggak makan!

Gerimis dari sebelum Subuh sudah reda. Hangat matahari menembus awan kelabu.

Terdengar suara, "Sayur, sayuur, sayuuur ...!"

Bukan mamang-mamang sayur yang biasa berkeliling di sekitar pemukiman, melainkan seorang perempuan menjinjing keranjang berwarna merah. Isinya, sayur dan lauk matang dalam kemasan plastik.

Sekalipun bagus untuk ilustrasi, saya tidak akan pernah sampai hati mengambil foto perempuan umur 28 tahun, yang berkeliling menawarkan makanan matang, sambil menggendong bayi 12 bulan ditemani anak lelakinya usia 4 tahun.

Mereka bermukim di rumah warisan orangtuanya, yang terletak di bantaran kali sekitar Bubulak Kota Bogor. Kadang saya melalui wilayah itu saat olahraga jalan kaki pagi. 

Setelah ditanya dengan penuh timbang rasa ia menerangkan, berjualan demi mencari nafkah agar mereka bisa bertahan hidup, sebab ditinggalkan pasangannya. Suami bukan ke luar daerah mencari penghasilan, atau sudah berpulang. Bukan itu!

Lebih dari tujuh bulan suaminya kembali bermanja-manja dalam timangan emaknya di Citeureup, Kabupaten Bogor. Dua puluh kilometer dari tempat tinggal semula.

Ya! Laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga pergi meninggalkan istri dan dua anak masih kecil.

Menurut penuturan perempuan penjual masakan, lelakinya tidak bekerja. Tidak mau bekerja. Alasannya, ia enggan berbagi penghasilan untuk istri dan anak-anaknya.

Apa pun latar belakangnya, pria berani menikah tentunya siap bertanggung jawab atas kehidupan anak dan istri sah. Maka, tidak mau menyerahkan penghasilan kepada keluarga adalah alasan sulit diterima akal.

Jangan pula berdalih terserang daddy blues, gejala ayah yang tertekan dan cemas menghadapi kelahiran anak.

Saya curiga, laki-laki tersebut sesungguhnya malas bekerja. Lebih suka berleha-leha, berkhayal ...mak brek... uang jatuh dari langit. Sudahlah, membahas laki-laki celaka itu hanya mengakibatkan hati terbakar.

Perempuan di atas berkeliling menjual makanan matang demi menghidupi diri dan anak-anaknya. Hanya itu yang bisa ia lakukan.

Katanya, "Nggak jualan, ya nggak makan."

Bukan sekali ini berjumpa dengan perempuan mandiri pencari nafkah. Beberapa waktu sebelumnya, saya berkunjung ke sebuah lapak penjualan hidangan sarapan.

Selama menunggu pesanan lotek (sayur matang dibubuhi bumbu kacang ulek), terdengar percakapan antara sang penjual dengan satu pembeli. Kurang lebih membincangkan tentang gugatan perceraian.

Pertimbangan sang pembeli mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama adalah, suami tidak bekerja dan malas mencari pekerjaan. Maka, perempuan itu akhirnya bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga.

Penjual pecel dan gorengan itu, Endah (34), menghadapi persoalan serupa.

Saat mampir makan bihun bumbu kacang lebih dari satu tahun lalu, saya menyaksikan perempuan itu tinggal dengan dua anak, dan ibunya yang lumpuh duduk di kursi roda akibat serangan strok. Sempat terlihat seorang pria, saya menduga sebagai suaminya, keluar rumah dan pergi naik sepeda motor,

Sekarang Endah tinggal sendiri ditemani anak bungsunya. Dapat cerita, ibunya berpulang pada bulan Oktober lalu. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Suaminya, pulang ke rumah orangtuanya di Malimpimg, Banten.

Tanya-tanya sepintas, Endah menyebut bahwa suaminya kurang bertanggung jawab dalam keuangan keluarga. Malahan, enam bulan terakhir pergi membawa anak sulung, meninggalkan istri bersama anak wanita paling kecil.

Maka sang istri mencari penghasilan dengan menjual pecel bumbu ulek, nasi uduk, mi glosor, bihun goreng, lontong sayur, gorengan. Itu dilakukannya untuk membiayai rumah tangga dan makan sehari-hari.

"Jual makanan, bisa numpang makan. Alhamdulillah."

Bisa jadi cerita-cerita di atas tidak utuh, lantaran disimpulkan dari obrolan-obrolan singkat dan tidak menyentuh kedalaman perkara. Juga, kisah didapat dari satu pihak tanpa mendapatkan perbandingan berimbang dari pihak berbeda.

Lagi pula, apalah saya? Bukan pengadil, petugas mediasi, pun konsultan perkawinan.

Saya hanya pejalan kaki yang merasa takjub: betapa perempuan-perempuan mandiri tersebut dengan segala kemampuan dimiliki mencari nafkah untuk keluarga, seraya menepikan rasa kecewa --mungkin sakit hati-- karena ditinggal laki-laki tidak bertanggung jawab.

Semoga mereka dan para perempuan senasib dilimpahkan rezeki. Aamiin ya Rabbal Alamin. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun