LANGIT LEBAM. Angkasa biru ternoda jingga berangsur-angsur memerah tua. Matahari menyerah lalu tersudut. Meringkuk. Menutup wajah dari terjangan kawanan awan hitam. Udara lembab. Kelam.
Suhu udara menukik. Awan hitam bergulung-gulung. Titik-titik air berjatuhan semakin kerap. Kian lebat. Angin berpusar. Gelegar bersahutan. Kelebatan-kelebatan cahaya menghunjam bumi menyambar pucuk pinus hingga patah.
Dalam bilik bercahaya hangat, dua mata memandang saksama sebuah buku pelajaran. Sesekali tangannya menulis pada lembaran di buku bersampul cokelat.
Anak laki-laki usia sembilan tahun itu sedang menyelesaikan pekerjaan rumah dari guru. Berusaha memahami tentang hutan, yaitu suatu daerah luas dengan beragam pohon besar yang tumbuh dengan sendirinya.
Sampai di sini Ardi bisa membayangkannya. Desanya berada di tempat di mana masih terdapat banyak pepohonan. Sedikit ke atas, dijumpai satu bagian dari perbukitan luas dengan beragam tanaman kayu berukuran besar, berdaun lebat, tumbuh rapat, dan saling berlomba menuju langit.
Ia mengetahuinya persis. Namun, pernyataan bahwa hutan dapat mencegah luapan air meluncur terlampau deras, juga menahan longsor, membuat keningnya berkerut. Anak kelas 4 SD itu ingin mencari tahu.Â
Terlihat ibunya sedang menenangkan Asti, adiknya
"Bapaaak ...!"
"Bentaaaar ...," sahutan nyaring Rukma mengalahkan bunyi hujan menimpa genting, pekarangan, dan apa saja yang terbuka di bawah langit.
Hujan deras, yang kian lebat disertai angin, telah meloloskan sebagian air melewati celah-celah penutup atap, di mana sekumpulannya menggenangi langit-langit rumah, merembes, lalu membentuk titisan-titisan.