Pikiran Rukma berkembang. Harapannya melambung. Tidak seperti anak-anak di kampung ini yang umumnya putus SMP, Ardi dan Asti akan bersekolah ke jenjang tinggi. Kelak mereka tidak menjadi petani dan peladang seperti kebanyakan orang. Bekerja di kota menghasilkan banyak uang.
Sesekali impiannya terganggu, ketika kegiatan penebangan pohon dan pengangkutan kayu gelondongan dihentikan, sehubungan adanya patroli pasukan berseragam hijau tua dan bersenjata.
Setelah jeda sementara yang terasa lama, kegiatan pembalakan berlanjut. Uang mengalir lagi. Rukma tersenyum-senyum mengingat dinamika pada tempatnya bekerja.
Ah, tempat bekerja? Mudah-mudahan proyek memanjang dan ia terus dipakai, batin Rukma.
Sejurus, matanya menangkap bayangan tumbuhan pisang hendak roboh. Beban tandan menggantung dalam tiupan angin membuatnya takluk.
Rukma menyambar caping. Membuka pintu. Membiarkan embusan dingin menyerbu. Ia mencari tali dan batang kayu sebagai bakal penahan, lalu berlari. Demi membuat topangan, tidak menghiraukan hujan deras, angin kencang, langit berkilat-kilat, guruh bersahutan.
Suara derakan terdengar pelan, semakin lantang hingga menarik perhatian Rukma. Tebing terjal menjulang sekitar seratus meter di atasnya patah, menggemuruh melindas apa pun selama bergulung-gulung, dan jatuh menimpa rumahnya.
Rukma, yang sempat lari menghindar, pingsan terbabit longsoran.
***
Di bawah tenda terpal berukuran besar Rukma terbaring pada satu tempat tidur lipat. Orang-orang berpakaian oranye, biru, loreng hilir mudik membaringkan warga berlepotan lumpur dan luka, yang segera dirawat oleh tangan-tangan terampil.
Kepalanya pening. Ia baru merasakan sakit pada beberapa bagian badan. Perih di lengan. Satu kaki diperban.