KAMIS PAGI NAN MURAM. Sesuram pikiran yang tidak berhasil melanjutkan kalimat pembuka bakal cerita pendek.
Sebelum asap berkepul-kepul di kepala, saya memutuskan melupakannya dan keluar rumah untuk jalan-jalan. Barangkali udara segar dalam perjalanan membawa inspirasi.
Berjalan kaki kurang dari satu kilometer, saya berhenti pada satu warung nasi uduk dan gorengan. Di sana bisa seruput kopi hitam sambil menuliskan gagasan didapat pada aplikasi catatan.
Saya membuka tas pinggang. Mengaduk dan mencari-cari telepon genggam.
Alamak jang! Telepon pintar itu tidak ada dalam tas kecil. Biasanya, jika keluar rumah saya membawa benda ini. Untuk komunikasi, juga jeprat-jepret berbagai hal barangkali satu saat bisa jadi ilustrasi artikel.
Sekali ini saya lupa memasukkannya. Makanya tidak ditemukan di dalam tas.
Namun, tak jadi soal besar perangkat komunikasi tanpa kabel itu tidak terbawa. Saya bisa berbincang atau mengamati segala hal yang terjadi di warung penganan pagi itu.
Di warung ada empat pembeli, termasuk saya yang ngopi sembari menghabiskan lontong isi oncom, tiga tahu, dan berlama-lama nongkrong. Satu pria makan nasi uduk. Pria lainnya, ngopi. Sisanya, mengisap gulungan tembakau yang diambil dari bungkus rokok milik teman atau tetangganya.
Ya, mereka bertetangga. Termasuk dua pria keluar masuk minum kopi, sambil berjualan singkong yang digelar pada pinggir jalan dekat warung gorengan.
Laris. Selama saya berada di warung, orang-orang bergantian membungkus barang satu atau dua kilo singkong.
Ubi kayu tampak baru dipetik, pada kulitnya masih terdapat sisa tanah basah. Mereka diantar oleh petani (atau tengkulak) dari kebun di Ranca Bungur, satu kecamatan di Kabupaten Bogor berjarak 10kilometer dari lokasi warung/penjual singkong tersebut.
Penjual membeli dua kuintal singkong dengan harga Rp2.700 per kilogram, menjualnya kembali Rp6.000 per kilogram.
"Lumayan. Tiga, empat hari bisa habis"
Menurutnya, warga sekitar daerah ini (Gang Pasama, Kota Bogor) menggemari ubi kayu. Singkong goreng menjadi penganan teman minum kopi sambil nonton bola. Camilan murah.
Tidak hanya digoreng, singkong enak diolah sebagai santapan lain: timus (ketimus, lemet; singkong parut dicampur gula merah, dibungkus daun pisang lalu dikukus), comro (singkong parut isi tumis oncom), misro (jemblem; singkong parut isi gula merah), tape/peuyeum, dan sebagainya.
Penjual singkong satu lagi memasuki warung, membawa 5 atau 6 batang umbi, dan menyerahkannya kepada pemilik warung, "Coba'an. Digoreng bakalan ngepruy." (Silakan coba. Sesudah digoreng akan terasa pulen, empuk dan enak).
Pemilik mengupas kulit singkong, membersihkan, memotong, dan mencemplungkannya ke dalam minyak panas.
Tidak dibumbui atau ditambahkan garam, baik sebelum maupun sesudah matang. Setelah agak kecokelatan, singkong goreng ditiriskan sekalian menunggu suhu menurun.
Semua orang di warung mengambil singkong terhidang.
Gigitan pertama mengonfirmasi bahwa singkong hangat itu benar-benar pulen. Di lidah muncul rasa sedikit manis bercampur gurih. Tidak mudah menghentikan kunyahan hingga habis.
Penasaran, saya mengambil lagi satu potong. Lumatan kedua tidak lantas mengurangi sensasi rasa yang pertama kali didapat.
Saya pikir pada percobaan ketiga akan membuat mulut bosan menyantap camilan tradisional ini. Ternyata tidak!
Seraya menekan perasaan tidak enak hati, kembali tangan meraih satu potong. Sekarang saya memakan singkong sambil sesekali menyeruput kopi. Lah, tambah nikmat!
Mulut masih ingin memamahnya, tetapi apa daya isi perut sudah sesak dengan satu buras (lontong isi), tiga tahu, dan empat potong singkong.
Supaya tidak berlama-lama sehingga tergoda mengambil lagi singkong goreng, saya segera beranjak dan membayar.
"Kopi, empat ribu. Buras satu dan gorengan tiga, lima ribu. Semuanya sembilan ribu."
"Empat singkong?"
"Gak usah. Mau bawa?"
Saya menggeleng sembari menepuk-nepuk perut.
Kamis kemarin tidak jadi muram. Saya merasa beruntung, nongkrong dan ngopi mendapatkan singkong goreng pulen secara cuma-cuma alias gratis. Jadi enak nih.
Sayangnya, saya tidak bisa mengambil foto singkong berhubung lupa membawa telepon genggam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H