Di dalam rumah yang hangat diterangi sinar bola lampu listrik, pria matang yang penyendiri itu terkejut ketika membuka bungkusan.
Tampak bergepok-gepok lembaran-lembaran masih tertutup plastik bening. Tertata rapi, demikian rapi sehingga membentuk kotak sempurna. Ada sepuluh bundelan, masing-masing terdiri dari sepuluh lembaran merah.
Dengan cermat Suhar menyimpan mereka pada ruang rahasia. Hanya ia yang tahu. Secara cerdik, ia membagi dalam beberapa tempat penyimpanan demi mengurangi risiko.
Suhar mulai melakukan pembelian beras dalam jumlah melebihi keperluannya, untuk mengamankan persediaan pangan dalam jangka panjang. Sebagian beras diam-diam ia jual ke luar wilayah, mengingat harga yang lebih bagus.
Mengelola penjualan ke luar wilayah adalah cara cerdiknya mengembangkan kekayaan, tanpa perlu bekerja keras mengolah sawah, ladang, dan pekarangan. Bisa menggaji orang lain, batinnya.
Pada satu sore cerah Suhar duduk ongkang-ongkang kaki di beranda rumah, ditemani secangkir kapucino dan penganan mewah. Beberapa orang tampak menata pekarangan rumahnya, mencabut cabai dan sebangsanya lalu menggantinya dengan bunga-bunga mahal.
Sambil menyesap kopi, Suhar merenung, seandainya bisa memimpin lebih banyak orang, semua warga, menggantikan Baskoro. Bagaimana caranya?
Sebentuk lampu bohlam berpijar di dalam kepala. Dengan mantap jari tengah menggesek jempol. Suhar berseru, "Aha ...!!!"
Ia bisa menggunakan kekuatan uang sebagai modal meraih kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H