Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Subur Makmur Ayem Tentrem

27 November 2024   12:05 Diperbarui: 27 November 2024   12:21 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musim-musim berlalu membawa kesejahteraan dan kedamaian, sampai muncul keadaan yang belum diketahui berasal dari mana telah menimbulkan gonjang-ganjing.

Bak air bah, yang datang perlahan lalu bergelombang-gelombang membawa gelondongan pokok pohon menerjang segala hal dijumpai, harga beras merangkak naik. Naik dan naik terus hingga harganya tidak terjangkau bagi banyak orang.

Urat-urat leher bersitegang di pasar-pasar, di antara pedagang dan penggiling padi, di tengah petani dan tengkulak beras. Ketegangan meliputi juga ruang-ruang rumah tangga. Istri-istri meminta suami-suami kerja lebih keras agar mampu membeli beras.

Berkembang curigai mencurigai di antara sesama tetangga. Barang-barang, terutama beras disimpan, hilang dicuri entah oleh siapa. Para pengurus wilayah, termasuk Baskoro, menyalahgunakan jabatan demi mampu membeli lebih banyak beras, sekalipun mahal.

Persediaan beras cenderung berkurang, tidak sesuai dengan jumlah stok minimum wilayah. Butuh uang lebih banyak untuk menebus sekilo beras, dibanding masa sebelumnya.

Menjamur warga yang kekurangan uang dan beras. Kelaparan mulai terlihat. Kesenjangan kelompok kaya dan miskin makin kentara. Tiada lagi kesetaraan sosial ekonomi di wilayah tertutup itu.

Hanya satu warga yang tampak tenang, bahagia, dan bertambah kaya. Takada seorang pun yang dapat menjelaskan, kenapa keadaan semacam ini terjadi.

Suhar (tanpa nama depan dan belakang) tidak pernah bermimpi kejatuhan benda dari langit. Sebuah paket meluncur deras dari awan kelam. Berdebum menimpa pepaya baru tumbuh hingga pohon itu patah.

Suara yang membangunkan Suhar dari lelapnya. Sejenak ia berpikir tentang duren jatuh. Tapi, takada pohon durian di pekarangannya?

Penasaran, ia mengencangkan ikatan sarung, kaki menjepit sandal, dan membuka pintu rumah memeriksa apa yang terjadi. Lamat-lamat dilihatnya semacam kardus dibungkus rapi tergeletak.

Sayup-sayup terdengar suara mesin melayang di udara. Sepintas terlihat baling-baling berputar mendatar membawa sebuah pesawat menjauh. Mungkin terjatuh darinya, pikir Suhar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun